Rabu, 11 Januari 2012

politik dan etika pendidikan






















KUMPULAN MAKALAH
POLITIK DAN ETIKA PENDIDIKAN
DOSEN PENGAMPU : M. FAHRUDIN, M.Pd.I







OLEH
SEMESTER  V



PROGAM SARJANA (S1), JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL URWATUL WUTSQO
JOMBANG 2011/ 2012
PENGERTIAN, URGENSI
POLITIK DAN ETIKA PENDIDIKAN
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan dalam arti luas memiliki tujuan menciptakan generasi yang emansipatoris, terbebas dari belenggu keterbelakangan serta berbagai problem-problem sosial dalam masyarakat yang dapat menyebabkan terhambatnya kesejahteraan bersama. Dikarenakan hal tersebut maka diperlukan adanya suatu sistem kenegaraan atau sistem poliltik yang mengatur pendidikan tersebut sesuai dengan tujuan yang telah terjabarkan diatas.
Tujuan pendidikan sekolah semata-mata menciptakan generasi yang cerdas, namun juga memiliki etika (moral) yang dapat membantunya dalam bersosialisasi dalam masyarakat, karena itulah pendidikan secara idealnya bersumber atas landasan lokad (lingkungan dan situasi sekarang) berkaitan dengan kebutuhan masyarakatnya dan memperhitungkan motif-motif sosial ekonomi, kultur dan politis yang terdapat pada situasi tersebut. Sehingga dapat mempersiapkan individu untuk menghadapi masa-masa yang akan terus berubah kedepannya.
Merujuk dari permasalahan diatas, maka dipandang perlu bagi para pendidik (guru) dan perencanaan pendidikan memahami politik dan etika dalam pendidikan, seberapa jauh pemerintah dan partisipasi masyarakatnya, serta bagaimana etika para pelaku pendidik, sedikit akan dibahas pada makalah ini.
B.       Rumusan Masalah
Dari penjelasan tersebut, dengan makalah ini kami akan mencoba membahas masalah sebagai berikut:
    1. Pengertian etika dan politik dalam pendidikan.
    2. Urgensi etika dan politik itu sendiri untuk pendidikan. 

PEMBAHASAN
A.      Pengertian etika dan politik
1.       Etika
Etika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “etos” berarti adat istiadat/kebiasaan, dalam artian etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata  cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang masyarakat, kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari generasi ke genari. Dalam bahasa lain etika lebih dikenal dengan sebutan moral, namun kedua kata tersebut (etika dan moral) memiliki perbedaan makna. Etika adalah ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral tentang bagaiman harus bertindak dalam situasi konkrit, etika berupa refleksi kritis untuk menentukan pilihan, sikap dan bertindak secara benar ketika terjadi dilema dalam menentukan kegardaan moral yang sama-sama sah dalam kehidupan. Sedangkan moral bukanlah ilmu untuk menelaah tetapi ia menjadi obyek dari etika, ketika etika berfungsi sebagai ilmu yang menelaah.
Kaitannya dengan pendidikan etika adalah bagaimana agar suatu poses pendidikan berjalan sesuai etika di masyarakat, sebab ketika suatu pendidikan berbeda dengan sistem yang berlaku di masyarakat, maka pendidikan tersebut tidak akan bisa berkembang bahkan dijauhi oleh masyarakat dan akhirnya akan kehilangan eksistensinya.
2.       Politik
Secara etimologis politik berasal dari bahasa Yunani “polis” yang berarti negara kota. Dari kata tersbut (polis) muncullah istilah “politikos” yang berarti kewarganegaraan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) politik berarti :
  1. Pengetahuan tentang ketata negaraan yaitu mengenai sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya.
  2. Segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan, siasat dan sebagainya, tentang perintahan ataupun terhadap negara lain.
  3. Kebijakan, cara bertindak dalam menghadapi suatu masalah tertentu.
Politik memiliki definisi yang banyak tergantung sudut pandang yang digunakan oleh si pendefinisi. Beberapa ahli semisal Ramlan Surbakti yang mengatakan bahwa sekurang-kurangnya ada lima pandangan tentang politik, yang salah satunya ia mendefinisikan sebagai berikut: politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. (Surbakti 1992: 1-2)
Berdasarkan pengertian tersebut dan jika dikaitkan dengan pendidikan, politik dapat diartikan sebagai cara atau metode yang didasarkan pada kebudayaan bangsa tertentu guna mempengaruhi pihak-pihak tertentu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan negara tersebut.
Perbedaan kebijakan pendidikan antara negara satu dengan negara lain disebabkan oleh adanya perbedaan sistem politik yang dianut. Dari statement tersebut dapat disimpulkan bahwa antara sistem politik dan kebijaksanaan pendidikan saling terkait, keterkaitan tersebut dapat dilihat dari dihasilkannya kebijaksanaan dalam dunia pendidikan tersebut oleh sistem politik.
B.       Urgensi etika dan politik bagi kelangsungan pendidikan
Pendidikan merupakan tindakan yang menggabungkan antara siasat (politik) untuk menciptakan berbagai alternatif kehidupan yang baru. Pendidikan juga merupakan ajang untuk menuangkan komitmen yang tinggi dari para pendidik kepada murid guna menciptakan suatu sistem yang emansipatif bukan sekedar memenuhi tuntutan pedagogis semata melainkan tidak terlepas dari etika masyarakat dimana para  siswa hidup.
Politik dan etika dalam pendidikan adalah langkah strategis untuk mencapai tujuan perbaikan pendidikan seperti yang diharapkan. Paulo Freire mengatakan bahwa antara pendidikan dan “politik pendidikan” tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Dua ranah ini melekat secara integral karena konsepsi pendidikan tanpa politik dan etika, pendidikan tidak akan menghasilkan suatu kebijakan pembangunan manusia (humaniora) yang efektif untuk jangka panjang. Dengan demikian, sesungguhnya politik pendidikan adalah strategi politik untuk memperbaiki pendidikan di wilayah decision-makers, agar gagasan itu memanifestasi dalam kenyataan.
Sedang Kaidah etika dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat (pleasant living together) tertuju kepada terciptanya ketertiban, kedamaian dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian atau ketenteraman (peaceful livingtogether).
Kaitannya dengan tugas pendidik etika tersebut dipakai untuk menilai bagaimana sebagai professional menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik sebagai manusia yang berbudi luhur, juiur, bermoral, penuh integritas dan bertanggung jawab. Dalam hal ini yang ditekankan adalah “sikap atau
perilaku” mereka dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai profesional yang
diembannya untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan  itu sendiri.
Pada akhirnya nilai etika standard profesi pendidik adalah memberikan jalan, pedoman, tolok ukur dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan dilakukan dalam berbagai situasi dan kondisi tertentu (politik) dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Pengambilan keputusan etis atau etik, merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai seorang profesional yang telah memperhitungkan konsekuensinya, secara matang baik-buruknya akibat yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara obyektif, dan sekaligus memiliki tanggung jawab atau integritas yang tinggi. Kode etik profesi yang telah dibentuk dan disepakati tersebut bukanlah ditujukan untuk melindungi kepentingan individual pendidik (subyektif), tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan yang lebih luas (obyektif) yaitu terwujudnya tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Pada penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa kebijakan pendidikan tiap negara berbeda dikarenakan sistem politiknya atau landasan hukum negara yang  dipakai berbeda pula. Kalau di dalam dunia politik kita melahirkan sebuah produk hukum yang kita kenal dengan UUD 1945, maka kebijakan – kebijakan pendidikan yang diambil tidak boleh sampai menyimpang dari UUD tersebut. Di dalam pembukaannya (UUD 1945 alenia IV) dikatakan, bahwa salah satu tujuan kita berbangsa adalah mencerdaskan semua warga Indonesia (Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia), maka semua kebijakan yang diambil harus berlandaskan hal tersebut. Dengan demikian jelaslah betapa urgennya etika dan politik untuk pendidikan itu sendiri.



PENUTUPDari penjabaran – penjabaran di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
-          Politik jika dikatkan dengan dunia pendidikan maka dapat didefinisikan sebagai cara atau metode yang didasarkan pada kebudayaan bangsa tertentu guna mempengaruhi pihak-pihak tertentu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional negara tersebut. Sedang etika jika dikaitkan dengan pendidikan pula dapat diartikan tentang bagaimana agar suatu proses pendidikan berjalan sesuai etika di masyarakat.
-          Keberadaan politik dan etika memiliki peranan yang penting bagi pendidikan, sebab kedua komponen ini mempunyai andil yang besar dalam usaha terwujudnya tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam UUD 1945.
-          Kaitannya dengan tugas pendidik etika dan politik tersebut dipakai untuk menilai tingkat keprofessionalan pendidik dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik sebagai manusia yang berbudi luhur, juiur, bermoral, penuh integritas dan bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Widia Sarana Indonesia                 Gramedia.
Kartono, Kartini. 1990. Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan   Nasional. Bandung: Mandar Maju.
http://asyilla.wordpress.com/2007/06/30/pengertian-etika/



KEBIJAKAN PENDIDIKAN ORDE LAMA DAN ORDE BARU
BAB I
PENDAHULUAN
A.       LATAR BELAKANG
Pendidikan adalah pilar utama berdirinya sebuah bangsa. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha untuk merancang masa depan umat manusia sebagai genarasi yang memajukan sebuah bangsa. Dalam konsep dan implentasi pendidikan harus memperhitungkan berbagai faktor.Konsep pendidikan harus disesuaikan dengan keinginan, ukuran, mental, budaya, sosial, ekonomi, dan politik sebuah kelompok masyarakat yang bersangkutan.Demikian juga konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia yang tidak pernah lepas dari unsur politik dan kebijakan pemerintah.
Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti “manusia setengah dewa”).Namun tiap-tiap masa pemerintahan mempunyai cirinya masing-masing dalam menjalankan arah kebijakan anggaran negara. Hal ini dikarenakan untuk disesuaikan dengan kondisi: stabilitas politik, tingkat ekonomi masyarakat, serta keamanan dan ketertiban.
Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mengemukakan hasil analisa kami mengenai kebijakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan mulai dari masa orde lama hingga reformasi, semoga melalui makalah ini akan bisa diambil sebuah pemahaman baru dan solusi untuk kemajuan sistem pendidikan indonesia ke depan.


B.       RUMUSAN MASALAH
1.       Bagaimana kebijakan pemerintah bidang pendidikan masa orde lama?
2.       Bagaimana kebijakan pemerintah bidang pendidikan masa orde Baru?
3.       Bagaimana kebijakan pemerintah bidang pendidikan masa Reformasi?


C.       Tujuan Pembahasan
1.       Mahasiswa mengetahui kebijakan pemerintah bidang pendidikan masa orde lama
2.       Mahasiswa mengetahui kebijakan pemerintah bidang pendidikan masa orde Baru
3.       Mahasiswa mengetahui kebijakan pemerintah bidang pendidikan masa Reformasi






BAB II
PEMBAHASAN


A.       KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA MASA ORDE LAMA

Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan mayoritas penduduk beragama Islam dan menyatakan diri sebagai negara yang berdasar Pancasila dengan demokrasi liberal pada waktu itu. Namun demokrasi yang diterapkan pada akhirnya hanya menimbulkan permasalahan konflik antar etnis, agama dan ideologi bagi rakyat Indonesia.Partisipasi politik hanya melahirkan harapan-harapan masyarakat yang tidak realistis, yang pada akhirnya menimbul-kan perpecahan di kalangan warga negara.
Perubahan-perubahan setelah kemerdekaan meliputi berbagai aspek, tidak hanya dalam bidang pemerintah tetapi juga dalam pendidikan.Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia[1].
Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-cita tersebut, maka bidang pendidikan mengalami perubahan diantaranya dengan menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 yang berbunyi :
1.             Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran.
2.             Pemerintah mengusahakan suatu system pengajaran nasoinal yang diatur dengan undang-undang.
Pada periode Orde Lama ini, berbagai peristiwa dialami oleh bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan, yaitu:
1.              Dari tahun 1945-1950 Landasan Idiil pendidikan ialah UUD 1945 dan falsafah Pancasila.
2.               Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) di Negara bagian timur dianut suatu system pendidikan yang diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda.
3.              Pada tanggal 17Agustus 1950, dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan RI, Landasan Idiil UUDS RI.
4.              Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan RI kembali ke UUD 1945 dan menetapkan Manifesta Politik RI menjadi Haluan Negara. Dibidang pendidikan ditetapkan Sapta Usaha Tama dan Pancawhardana.
5.              Pada tahun dan UUD 1945 secara murni  dan konsekuen.yang mengamanatkan kepada pemerintah indonesia untuk mengusahakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur oleh undang – undang[2]
Kendatipun demikian ternyata usaha menyusun undang – undang tentang sistem pendidikan nasional tersebut bukanlah persoalan mudah. Sejak tahun 1945, undng – undang sebagai mana dikehendaki pasal 31 ayat 2 UUD 1945 tersebut baru dapat direalisasikan pada tahun 1989,  yaitu dengan undang – undang nomor 2 tahun 1989 pada tanggal 27 maret 1989, selanjutnya disempurnakan dengan UU No. 20 tahun 2003[3].

B.       KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA MASA ORDE BARU

Kebijakan pemerintah orde baru, sebelum maupun setelahnya seringkali menganak tirikan pendidikan. Pendidikan mempunyai anggaran paling kecil dari dana APBD dan sistem pendidikan yang terpusat atau dengan istilah sentralilasi membuat kualitas pendidikan Indonesia semakin memburuk. Yang lebih menyedihkan dari kebijakan pemerintahan orde baru terhadap pendidikan adalah sistem doktrinisasi. Yaitu sebuah sistem yang memaksakan paham-paham pemerintahan orde baru agar mengakar pada benak anak-anak. Proses indoktrinisasi ini tidak hanya menanamkan paham-paham orde baru, tetapi juga sistem pendidikan masa orde baru yang menolak segala bentuk budaya asing, baik itu yang mempunyai nilai baik ataupun mempunyai nilai buruk. Paham orde baru yang membuat kita takut untuk melangkah lebih maju.  kebijakan pendidikan pada masa orde baru mengarah pada penyeragaman. Baik cara berpakaian maupun dalam segi pemikiran. Hal ini menyebabkan generasi bangsa kita adalah generasi yang mandul. Maksudnya, miskin ide dan takut terkena sanksi dari pemerintah karena semua tindakan bisa-bisa dianggap subversif. Tindakan dan kebijakan pemerintah orde baru-lah yang paling benar[4]. 
Pada sistem pendidikan Orde Baru, ada tiga ciri utama yang dapat dicermati di dalam pendidikan nasional kita sampai sekarang ini. "Pertama, adalah sistem yang kaku dan sentralistik; yaitu suatu sistem yang terperangkap di dalam kekuasaan otoritas pasti akan kaku  sifatnya.  Karena  ciri-ciri  sentralisme,  birokrasi  yang  ketat,  telah  mewarnai penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Kedua, sistem pendidikan nasional didalam pelaksanaanya telah diracuni oleh unsur-unsur korupsi, kolusi, nepotisme dan konceisme  (cronyism).  ketiga,  sistem  pendidikan  yang  tidak  berorientasi  pada pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat telah sirna dan diganti dengan praktek-praktek memberatkan rakyat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas [Tilaar,1998:26-28]. Di samping itu, sistem pendidikan kita sekarang ini belum mengantisipasi masa depan [Ahmad Tafsir,1999:7] dan perubahan masyarakat.

C.       KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA MASA REFORMASI

Dalam era reformasi ada kesan pengembangan kebijakan pendidikan tampak demokratis.Misalnya, antara lain tampak dengan dikembangkannya Kurikulum 2004 (KurikukulumBerbasis Kompetensi), MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Komite Sekolah. Hal inimerupakan  upaya  penerapan  secara  konkrit  otonomi  pendidikan.  Tetapi  dalampelaksanaannya masih jauh dari harapan. Kebijakan pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional) sebagai dasar untuk menentukan kelulusan dinilai tidak sinkron denganotonomi daerah. Karena berakibat dapat mengurangi otonomi kewenangan akademik guru dan daerah (Cholisin : 2004b) . Coba bandingkan dengan negara tetangga Vietnamyang menganut sistem politik otoriter, tetapi dalam hal penentuan kelulusan siswadiserahkan sepenuhnya kepada sekolah.Sekolah menyelenggarakan ujian berdasarkanstandar nasional. Disamping itu dilihat dari segi cakupan kompetensi yang diuji dalamUAN dinilai tidak valid , karena hanya mengungkap aspek kognitif. Hal ini dinilai telahmereduksi tuntutan kompetensi dalam KBK yang mengharuskan ketiga aspek kompetensiyakni  kognitif,  afektif  dan  psikomotorik  untuk  dievaluasi.
Di dalam pasal 33 UUD 1945 tujuan pendidikan yang telah terumuskan secara eksplisit pada beberapa dokumen yang dikeluarkan pemerintah republik indonesia pada tahun 1950, 1954,1965, 1966, dan 1973. Semuanya selaras dengan nilai – nilai pancasila, termasuk undang – undang sisdiknas yang didalamnya memuat tujuan pendidikan, ia bukanlah sebuah undang – undang yang bertentangan dengan nilai – nilai Pancasila, dan lain – lain.
Namun keideologian Pancasila bahkan seperti “ pingsan dalam kedudukan”, untuk tidak mengatakan mati. Keberadaannya hanya sebagai simbol yang tidak berpengaruh, butir – butirnya hanya formalitas kemanusiaan atau berhenti pada dataran konsep yang pernah ingin dicapai[5].
Reformasi 98” diakui atau tidak adalah awal perubahan wajah dari kapitalisme diIndonesia.Agar bangsa Indonesia dapat kembali melaksanakan pembangunan menurutHaryono Suyono, maka krisis multi dimensi yang terjadi perlu segera diatasi danreformasi dijaga agar tidak salah arah.Untuk itu, maka perlu ditetapkan dasar-dasar kebijakan yang dapat diterima semua fihak. Untuk menetapkan dasar-dasar kebijakanyang dapat diterima semua fihak tadi, perlu dilakukan rekonsiliasi untuk mencapaikonsensus  nasional.  Dasar-dasar  kebijakan  yang  ingin  dicapai  melalui  KonsensusNasional tersebut,
pertama, reformasi yang dilakukan hendaknya dilihat sebagai prosespembaharuan  yang  sambung-menyambung  mulai  dari  Orde  Lama  ke  Orde  Baruselanjutnya ke Reformasi. Orde lama yang membentang dari 17 Agustus 1945 hingga1967, dan Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga 1998 serta Reformasiyang dimulai 22 Mei 1998, masing-masing memiliki misinya sendiri yang perlu bagikemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara serta untuk menegakkan persatuan dalamNegara Kesatuan Republik Indonesia. Kita harus menengok kebelakang(Haryono Suyono, 2003) dengan hati yang besar, dan melihat kedepan dengan penuh percaya diri untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa kita, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Kedua, dengandicapainya Konsensus Nasional, maka stabilitas nasional akan lebih mudah untuk diwujudkan, sehingga kita dapat melaksanakan reformasi dengan tertib dan teratur.
Ketiga, reformasi hanya akan dapat berjalan lancar dan membawa hasil yang positif. apabila dalam pelaksanaannya Hak Asasi Manusia dijunjung tinggi. Hak asasi manusiahanya mungkin berkembang dengan subur dalam masyarakat yang demokratis. Karena itu reformasi  harus  dilakukan  secara  demokratis.  Kenyataan  selama  ini  memang menunjukkan bahwa dalam Negara dengan system diktator, ataupun bentuk-bentuk otoriter lainnya Hak Asasi Manusia selalu diabaikan. Hanya dalam Negara yang menganut sistim demokrasi Hak Asasi Manusia dijunjung tinggi.
Keempat, menempatkan manusia sebagai titik sentral reformasi. Reformasi harussecara konsisten diarahkan pada pembangunan manusia dan pemberdayaan masyarakat,agar mampu menjadi kekuatan yang mandiri. Manusia Indonesia diberi dukunganpemberdayaan yang diperlukan agar menjadi kekuatan pembangunan yang mampumengembangkan prakarsa, memiliki vitalitas yang tinggi, dan siap bekerja.
Kelima, agar reformasi berjalan dengan tertib dan teratur, masyarakat Indonesia harus didorong untuk menjadi masyarakat yang tertib, teratur, dinamis, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasidan hak asasi manusia.Untuk itu, supremasi hukum perlu ditegakkan. Hal ini juga perluguna menghindari terjadinya penindasan dan pengabaian atas hak asasi manusia yangmembuat  manusia  Indonesia  tidak  bisa  menjadi  perhatian  utama  dalam  prosespembangunan.
Keenam, kewibawaan hukum dan lembaga-lembaga penegak hukum yang cenderung merosot dewasa ini, perlu segera dibenahi dan ditingkatkan perannya sebagai institusiyang  dapat  benar-benar  dapat  menjamin  kelangsungan  pembangunan  yang  akan dijalankan. Apabila hukum dan lembaga-lembaga penegak hukum dapat berperan secara baik dengan menjunjung tinggi keadilan, maka diharapkan akan dapat mendorong timbulnya rasa kepercayaan dan keamanan masyarakat.Pembangunan  harus  dilakukan  dengan  mengutamakan  kekuatan  bangsa  Indonesia sendiri, meskipun tidak menutup kemungkinan diterimanya bantuan luar negeri sejau hbantuan tersebut tidak mengikat secara politik. Untuk kebijakan di bidang ideologi,pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan bahwa Pancasilaadalah dasar Negara. Hal ini berarti bahwa Pancasila merupakan nilai dasar yangnormatif terhadap penyelenggaraan Negara. Karena itulah Pancasila dijadikan sebagaiideologi Negara yang memuat norma-norma untuk mengukur dan menentukan keabsahanbentuk-bentuk penyelenggaraan Negara serta kebijaksanaan-kebijaksanaan penting yangdiambil dalam proses pemerintahan.Sebagai  ideologi Negara, Pancasila bisa mempunyai arti yang negatif. Sebab ideologydapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menentukan seluruh segi kehidupan manusiasecara total, serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai denganapa yang digariskan oleh ideologi. Akibatnya, tidak ada kebebasan pribadi dan ruanggerak manusia sangat dibatasi.Disamping itu ideologi dapat dijadikan alat legitimasi olehpenguasa untuk melakukan tindakan pembenaran. Sebagai nilai dasar yang normatif terhadap  penyelenggaraan  Negara,  Pancasila  mempunyai  fungsi  penting  dalammenggambarkan tujuan Negara Republik Indonesia. Pancasila memberikan perlindungankepada segenap bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.Pada hakekatnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan kenyataan hidup masyarakat Indonesia memangterjadi hubungan dialektis, sehingga berlangsung pengaruh timbal balik dalam interaksi.
Intinya pendidikan Indonesia masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materilisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang demikian ini memang secara teoritis tidak nampak, akan tetapi secara praktis merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi. Materialisasi atau proses menjadikan semua bernilai materi telah merunyak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan Islam. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut. Dalam masalah kurikulum pendidikan misalnya diarahkan kepada kurikulum yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang besar.Kurikulum tersebut dibuat sedemikian rupa dan untuk mengikutinya harus mengeluarkan uang sangat sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya haru mengeluarkan dana yang besar, maka dapat dibayangkan setelah memperoleh pengetahuan tersebut. Peserta didik yang telah selesai akan menggunakan pengetahuan tersebut paling untuk mengembalikan modal dan tentu berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Karena memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi di masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan prinsip ekonomi yang diajarkan di sekolah menengah adalah keluarkan modal sedikit mungkin dan hasilkan keuntungan sebesar-besarnya.Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan telah dijadikan atau telah diselewengkan tujuannya hanyauntuk mendapatkan pekerjaan. Sedangkan untuk menjadikan manusia yang utuh bukan hanya dimarjinalkan, akan tetapi memang dimatikan karena prinsip ekonomi tidak mengenal nilai-nilai spiritual, moralitas, kebersamaan[6].

BAB III
KESIMPULAN


Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan masa orede lama yakni setelah kemerdekaan diproklamirkan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia.
Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-cita tersebut, maka bidang pendidikan mengalami perubahan diantaranya dengan menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31, namun dalam perealisasinya mengalami kesulitan.
Pada sistem pendidikan Orde Baru, ada tiga ciri utama yang dapat dicermati di dalampendidikan nasional kita sampai sekarang ini. "Pertama, adalah sistem yang kaku dansentralistik; yaitu suatu sistem yang terperangkap di dalam kekuasaan otoritas pasti akankaku  sifatnya.  Karena  ciri-ciri  sentralisme,  birokrasi  yang  ketat,  telah  mewarnaipenyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Kedua, sistem pendidikan nasional didalam pelaksanaanya telah diracuni oleh unsur-unsur korupsi, kolusi, nepotisme dankonceisme  (cronyism).  ketiga,  sistem  pendidikan  yang  tidak  berorientasi  padapemberdayaan masyarakat.
Dalam era reformasi ada kesan pengembangan kebijakan pendidikan tampak demokratis.
Tetapi  dalampelaksanaannya masih jauh dari harapan. Kebijakan pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional) sebagai dasar untuk menentukan kelulusan dinilai tidak sinkron denganotonomi daerah. Karena berakibat dapat mengurangi otonomi kewenangan akademik guru dan daerah



DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, Dasar – dasar Ilmu Pendidikan , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
muhdi amnur Ali, Konfigurasi politik Pendidikan Nasional,Yogyakarta: Pustaka
Fahima,2007
Pendidikan Islam Masa Orde Lama « Mangun Budiyanto.htm
Materi Kuliah PAI-K STAIN Jember angkatan 2009_ ILMU PENDIDIKAN ISLAM
_Pendidikan Islam Masa Orde   Lama.html
http://www.anneahira.com/kebijakan-pemerintah-orde-baru.htm
Http:// Ditpertais.warta.swara.17-01.asp.html



MANAJEMEN PERUBAHAN
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Zaman yang terus maju dan berkembang menuntut adanya perubahan baik cakupannya kecil maupun luas sebagai tuntutan perkembangan zaman tersebut. Upaya menjalankan perubahan tersebut tentunya tidak akan terwujud secara baik tanpa adanya sebuah system pengaturan atau system manajemen, yang dalam pokok kajian kali ini disebut dengan manajemen perubahan.
Adanya suatu system manajemen perubahan tidak akan bias terlepas dari seorang leadership (pemimpin) sebagai agent of change yang berjiwa manajer. Dalam makalah singkat ini, akan coba di bahas mengenai masalah-masalah pokok manajemen perubahan yang terumuskan dalam rumusan masalah berikut.
B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang kami kemukakan diatas, maka dapat dikaji beberapa masalah yang akan kami bahas dalam penulisan ini diantaranya:
  1. Apa pengertian manajemen perubahan?
  2. Apa saja prinsip-prinsip manajemen perubahan?
  3. Bagaimana pelaksanaan manajemen perubahan?
  4. Apa saja tahap-tahap manajemen perubahan?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Seperti yang telah diketahui manajemen mempunyai arti proses yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pergerakan, penguasaan serta evaluasi yang dilakukan oleh pihak organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan perubahan adalah suatu proses yang menjadikan sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya.
Berdasarkan atas pengertian manajemen perubahan diatas, maka dapat disimulkan pengertian dari manajemen perubahan itu sendiri.Manajemen perubahan dapat didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan dalam suatu organisasi tertentu baik dari dalam atau luar organisasi.
Manajemen perubahan itu sendiri tidak akan terlepas dari adanya kepemimpinan transformasion dari pimpinannya. Dalam usaha pengelolaan karena adanya perubahan tersebut bertujuan agar organisasi tidak menjadi statis, melainkan tetap dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.
B.     Prinsip-Prinsip Manajemen Perubahan
Dalam penerapan manajemen perubahan menurut AL Kinson terdapat 3 rinsip yang harus diperhatikan yaitu 3C (Clarity, Communication, consistency).
1.       Clarity (kejelasan)
Yang dimaksud kejelasan disini adalah kejelasan tujuan akibat dari adanya perubahan itu, tidak harus kejelasan proses karena proses terkadang harus berubah.
2.       Communication (komuikasi)
Komunikasi merupakan komponen penting dalam manajemen perubahan, tanpa adanya prinsip ini pelaksanaan dari manajemen perubahan itu sendiri akan berjalan buruk.
3.       Consistency (konsisten)
Sebuah organisasi harus konsisten terhadap tujuan yang mereka capai agar  tidak ada perasaan skeptic terhadap tujuan awal. Seberat apapun situasi yang timbul dari adanya perubahan tersebut harus dihadapi demi tujuan awal.
C.     Pelaksanaan Manajemen Perubahan
Dalam pelaksanaannya, manajemen perubahan membutuhkan sosok pemimpin transformasional. Kepemimpinan transformasional menurut Sudarwan Danim diartikan kemampuan dari seorang pemimpin dalam bekerja dengan, dan, atau melalui orang lain untuk menstranformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan bermakna, sesuai target yang telah ditetapkan.
Dengan demikian seorang pemimpin organisasi disebut menerapkan kaidah kepemimpinan transformasional, jika dia mampu mengubah energi sumber daya, baik manusia, instrument, maupuan situasi untuk mencapai tujuan-tujuan reformasi suatu organisasi.
D.    Tahap-Tahap Manajemen Perubahan
Suatu perubahan terjadi melalui tahap-tahapnya.  Pertama-tama adanya dorongan dari dalam (dorongan internal), kemudian ada dorongan dari luar (dorongan eksternal).  Untuk manajemen perubahan perlu diketahui adanya tahapan perubahan.  Tahap-tahap manajemen perubahan ada empat, yaitu:
Tahap 1,  yang merupakan tahap identifikasi perubahan, diharapkan seseorangdapat mengenal perubahan apa yang akan dilakukan /terjadi.  Dalam tahap ini seseorang atau kelompok dapat mengenal kebutuhan perubahan dan mengidentifikasi tipe perubahan.
Tahap 2,  adalah tahap perencanaan perubahan.  Pada tahap ini harus dianalisis mengenai diagnostik situasional tehnik, pemilihan strategi umum, dan pemilihan.   Dalam proses ini perlu dipertimbangkan adanya factor pendukung sehingga perubahan dapat terjadi dengan baik. 
Tahap 3, merupakan tahap implementasi perubahan dimana terjadi proses pencairan, perubahan dan pembekuan yang diharapkan.  Apabila suatu perubahan sedang terjadi kemungkinan timbul masalah. Untuk itu perlu dilakukan monitoring perubahan.
Tahap 4, adalah tahap evaluasi dan umpan balik.  Untuk melakukan evaluaasi diperlukan data, oleh karena itu dalam tahap ini dilakukan pengumpulan datadan evaluasi data tersebut.  Hasil evaluasi ini dapat di umpan balik kepada tahap 1 sehingga memberi dampak pada perubahan yang diinginkan berikutnya.
Suatu perubahan melibatkan perasaan, aksi, perilaku, sikap, nilai-nilai dari orang yang terlibat dan tipe gaya manajemen yang dibutuhkan. Jika perubahan melibatkan sebagian besar terhadap perilaku dan sikap mereka, maka akan lebih sulit untuk merubahnya dan membutuhkan waktu yang lama. Jika pimpinan manajemen perubahan mengetahui emosi normal yang dicapai, ini akan lebih mudah untuk memahami dan menghandel emosi  secara benar. 



BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN
1.       Manajemen perubahan merupakan upaya yang dilakukan untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan dalam suatu organisasi tertentu baik dari dalam atau luar organisasi.
2.       terdapat 3 rinsip yang harus diperhatikan yaitu 3C
Clarity (kejelasan)
Communication (komuikasi)
Consistency (konsisten)
  1. Tahap-tahap manajemen perubahan ada empat, yaitu:
-    Tahap 1, tahap identifikasi perubahan
-    Tahap 2, tahap perencanaan perubahan
-    Tahap 3, tahap implementasi perubahan
-    Tahap 4, tahap evaluasi dan umpan balik
DAFTAR PUSTAKA

-          Tim dosen administrasi pendidikan UPL, 2010. Manajemen pendidikan , alfabeta. Bandung. Cet. 3
-          Danim, sudarwan, menjadi komunitas pembelajaran (kepemimpinan transformasional dalam komunitas organisasi pembelajaran) Jakarta, 2005 PT. BUMI AKSARA
-          Hidayanto. Wordpress.com/2008/01/31/3c-dalam-manajeman-perubahan-tembolok-mirip
-          http:/makalah-ibnu.blogspot.com/2010/01/fungsi-dan-prinsip-manajemen-pendidikan.html.



MENGKAJI SISTEM KURIKULUM
Bab I
Pembukaan

Indonesia merupakan Negara yang mengkultuskan adanya system demokrasi dan kebebasan dalam memilih pendidikan yang layak baik secara klausal maupun universal .

Dalam system kependidikan tentunya seorang pendidik tidak akan pernah lepas dari yang namanya kurikulum dan evalusi pembelajaran yang di sampaikannya , melihat dari kondisi seperti itu kami akan mencoba membahas apa itu kurikulum dan evaluasi dan bagaima perkembagannya ,khususnya di indonesia .

Di makalah yang singkat ini kami beri judul mengkaji system kurikulum dan evaluasi pendidikan di indonesia . smoga sajian yng sedikit ini mampumenjawab problema yang di butuhkna saat ini . trimakasih


Rumusan Masalah
  • Apa itu kurikulum dan evaluasi pendidikan ?
  • Bagaimana System kurikulum di indoesia di terapkan?
  • Bagaimana Evaluasi pendidikan di indonesia?

Tujuan
  • Agar seorang pendidik lebih mengerti system evaluasi pendidikan di indonesia
  • Memberikan sedikit gambaran system evaluasi masal indonesia
  • Agar  calon pendidik pintar dalam mengevaluasi nantinya
Pembahasan

1.1       kurikulum
kurikulum adalah suatu metode atau alat yang sangat penting di dunia pendidikan dan sangat menentukan keberhasilan suatu pendidikan tersebut , karena dalam mencapai keberhasilan suatu produk pengajaran sangat dibutuhkan yang namanya kurikulum dan bila tidak maka akan sulit untuk mencapainya 

Di indonesia istilah kurikulum  boleh dikatakan baru menjadi popular sejak tahun lima puluhan yang di populerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di amerika serikat.sebelumnya yang lazim di gunakan ialah “rencana pembelajaran”  pada hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pembelajaran[7] .

  1. Pengertian Kurikulum Secara Etimologis
    Webster’s Third New International Dictionary menyebutkan kurikulum berasal dari kata curere dalam bahasa latin Currerre yang berarti :
    a. Berlari cepat
    b. Tergesa-gesa
    c. Menjalani
  2. Currerre di katabendakan menjadi Curriculum yang berarti :
a.        Lari cepat, pacuan, balapan berkereta, berkuda, berkaki
b.       Perjalanan, suatu pengalaman tanda berhenti
c.        Lapangan perlombaan, gelanggang, jalan
Menurut satuan pelajaran SPG yang dibuat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang berarti “jarak yang ditempuh”. Semula dipakai dalam dunia olahraga. Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh medali atau penghargaan.
4. Pengertian Kurikulum Dari Berbagai Ahli
George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculum is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”.
Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers.[8]
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.[9]
Sehubungan dengan banyaknya definisi tentang kurikulum, dalam implementasi kurikulum kiranya perlu melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbunyi: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. Peningkatan iman dan takwa;
b. Peningkatan akhlak mulia;
c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. Tuntutan dunia kerja;
g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. Agama;
i. Dinamika perkembangan global;
j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.[10]

2.1 SEJARAH PENERAPAN SYSTEM KURIKULUM DI INDONESIA

Memasuki tahun 2004 ini, sejak Indonesia merdeka, kita telah mengenal
berbagai kurikulum, ada kurikulum 1947, kurikulum tahun 1950-an, kurikulum
tahun 1964, kurikulum tahun 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, dan
kurikulum 1994. Mengapa kurikulum yang satu diganti dengan kurikulum yang
lainnya. Sampai dengan kurikulum 1984, perubahan kurikulum banyak yang
dipengaruhi oleh perubahan politik. Kurikulum 1964 disusun untuk meniadakan
MANIPOL-USDEK, kurikulum 1975 digunakan untuk memasukkan Pendidikan
Moral Pancasila, dan kurikulum 1984 digunakan untuk memasukkan mata
pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Kurikulum 1994, di
samping meniadakan mata pelajaran PSPB juga diperkenalkannya sistem
kurikulum SMU yang dimaksudkan untuk menjadikan pendidikan umum benar-
benar sebagai pendidikan persiapan ke perguruan tinggi.
Dari serangkaian perubahan kurikulum, yang didasarkan atas hasil penilaian
nasional pendidikan (national assessment) hanyalah kurikulum 1975 dan
kurikulum PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (1974–1981).
Selebihnya merupakan perubahan yang didasarkan atas asumsi teoretik, bukan
atas dasar temuan-temuan hasil evaluasi yang dilakukan secara sistematik.
Karena itu kita sukar untuk menjawab pertanyaan  “Seberapa jauh
kurikulum 1975, 1984, 1994 telah, belum atau tidak berhasil mempengaruhi
peningkatan mutu pendidikan?” Sesungguhnya pada tahun 1981 Balitbang
Depdikbud telah selesai (dimulai tahun 1978) melakukan studi evaluasi kurikulum
secara nasional yang komprehensif dengan datanya terkumpul dalam 6 (enam)
disket komputer . Tetapi penggantian kurikulum 1975 menjadi kurikulum 1984
sama sekali tidak didasarkan atas hasil evaluasi tersebut. Bahkan data yang
terkumpul dari hasil penelitian evaluatif yang berlangsung dari tahun 1978
sampai tahun 1980-pun tidak sempat diolah lebih lanjut.  Memang tradisi
penelitian dan pengembangan yang dirintis oleh almarhum Menteri Mashuri
dan diperkuat oleh Prof . Dr . Soemantri Brodjonegoro nampaknya berhenti sejak
Menteri Nugroho Notosusanto. Dalam konteks praktek perubahan kurikulum
yang demikian, tulisan ini tidak berpretensi berangkat dari hasil evaluasi ilmiah
melainkan berangkat dari premise teoretik. Atas dasar pertimbangan di atas,
tulisan ini akan mencoba membahas : (1) makna kurikulum sebagai unsur
yang strategis dalam pendidikan sekolah; (2) tujuan dan materi kurikulum91 Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004
Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Kependidikan sebagai Unsur Strategis
secara nasional yang komprehensif dengan datanya terkumpul dalam 6 (enam)
disket komputer . Tetapi penggantian kurikulum 1975 menjadi kurikulum 1984
sama sekali tidak didasarkan atas hasil evaluasi tersebut. Bahkan data yang
terkumpul dari hasil penelitian evaluatif yang berlangsung dari tahun 1978
sampai tahun 1980-pun tidak sempat diolah lebih lanjut.  Memang tradisi
penelitian dan pengembangan yang dirintis oleh almarhum Menteri Mashuri
dan diperkuat oleh Prof . Dr . Soemantri Brodjonegoro nampaknya berhenti sejak
Menteri Nugroho Notosusanto. Dalam konteks praktek perubahan kurikulum
yang demikian, tulisan ini tidak berpretensi berangkat dari hasil evaluasi ilmiah
melainkan berangkat dari premise teoretik. Atas dasar pertimbangan di atas,
tulisan ini akan mencoba membahas : (1) makna kurikulum sebagai unsur
yang strategis dalam pendidikan sekolah; (2) tujuan dan materi kurikulum91 Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004
Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Kependidikan sebagai Unsur Strategis
yang bermakna bagi kedudukan kurikulum yang strategis; (3) pendekatan dan
proses pembelajaran yang relevan; (4) evaluasi sebagai media pendidikan
dan instrumen umpan balik; dan (5) peranan guru dan implikasinya terhadap
profesionalisasi tenaga kependidikan.
Makna Kurikulum sebagai Unsur yang Strategis dalam
Pendidikan Sekolah
Sekolah adalah lembaga sosial yang keberadaannya sebagai bagian dari
sistem sosial negara bangsa sangat strategis sejak industrialisasi dan gerakan
negara kebangsaan pada abad ke-19, yang melahirkan negara-negara
kebangsaan seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Jerman, Perancis, Italia,
maupun Jepang. Para pendiri Republik nampaknya terilhami oleh perkembangan
negara-negara kebangsaan tersebut yang, dalam sejarahnya merupakan proses
menjadi satunya kerajaan-kerajaan kecil dari masing-masing negara tersebut,
mengamanatkan perlunya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan
kebudayaan nasional melalui diselenggarakannya satu sistem pengajaran
nasional (sekolah). Para pendiri Republik sadar akan adanya jurang antara
kondisi yang dicita-citakan yaitu masyarakat negara kebangsaan yang moderen
dan demokratis yang berdasarkan Pancasila dengan kondisi perkembangan
masyarakat Indonesia pada saat proklamasi. Karena itu harapan terbesar dari
suatu masyarakat yang melakukan transformasi budaya adalah menjadikan
sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap
dari warga masyarakat moderen. Dalam mengemban peranan sekolah sebagai
pusat pembudayaan inilah kedudukan kurikulum sangatlah strategis. Karena
proses pembudayaan berbagai kemampuan nilai, dan sikap itu hanya dapat
berlangsung melalui proses pembelajaran yang bermakna sebagai proses
pembudayaan. Proses pembelajaran yang demikian hanya akan terjadi secara
efisien, dan efektif melalui suatu sistem kurikulum yang dirancang secara
sistematik sejak penentuan tujuan yang harus dicapai, materi yang
harus dipelajari, proses pembelajaran yang harus diterapkan, dan
sistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan.
Kalau kita cermati, tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-
Undang Pendidikan Nasional, baik UU No. 4 Tahun 1950, jo UU No. 12 Tahun
1954, yang mencitakan manusia terdidik Indonesia sebagai “manusia susila
yang cakap dan demokratis serta bertanggung jawab” , atau UU No. 2 Tahun
1989 yang mencitakan wujud manusia Indonesia terdidik sebagai “manusia
yang beriman dan bertaqwa, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan
dan ketrampilan, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta mempunyai
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan” , dan yang terakhir UU
No. 20 Tahun 2003 yang mencitakan “manusia yang beriman, bertaqwa dan92 Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004





MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Pendahuluan
Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Batasan masalah :
1. Apa itu Manajemen Sekolah
2. Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
3. Apa manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
4. Apa Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
5. Apa Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
6. Apa karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
7. Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan
1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan . Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah
3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
4. Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat
(Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?
Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.
Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
5. Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
6. Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
7. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.
Di tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri. (self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan contoh pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara sekolah, rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga lain di sektor publik dan swasta.
Pengalaman menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas, tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua tingkat.
Satu implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti pekerjaan pemimpin senior di sekolah
Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Ada juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
8. Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar ?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
9. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Kesimpulan.
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon, 2004).
Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.



SERTIFIKASI
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
                Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
                Guru profesional harus memiliki kualitas akademik minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki serifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih lanjut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
 Kualifikasi akademik guru adalah S-1/D-IV yang dibuktikan dengan ijasah sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Kompetensi guru mencakup penguasan kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial yang  dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang diperoleh melalui sertifikasi.[11]
2. Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan sertifikasi?
  2. Apa yang dimaksud profesionalitas guru itu?
  3. Bagaimana hubungan antara sertifikasi dan peningkatan profesionalitas guru?
3. Tujuan
  1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sertifikasi.
  2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud profesionalitas guru.
  3. Untuk mengeahui hubungan antara sertifikasi dan peningkatan profesionalitas guru.

PEMBAHASAN
SERIFIKASI DAN PENINGKATAN PROFESIONALIAS GURU

A. Sertifikasi
1. Pengerian Sertifikasi
                Sertifikat bersal dari bahasa Inggris certificate yang artinya suatu pernyataan tentang kulifikasi seseorang atau barang. Dalam kaitan ini sertifikat pendidik adalah suatu pernyataan yang menunjukan seseorang benar-benar memiliki kualifikasi seorang pendidik, atau dalam pengertian penulis kualifikasi guru profesional. Dikaitkan dengan ketentuan tentang Pasal 8 UU No.14 Tahun 2005 karakteristik guru profesional dinyatakan:”Guru wajib memiliki kulifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani,serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”[12]
                Sertifikasi pendidik pada hakikatnya adalah upaya untuk menjamin bahwa setiap guru yang bertugas sebagai guru benar-benar dapat dijamin kualifikasi dan kemampuannya. Baik kemampuan pedagogik, kepribadian, kemampuan sosial, maupun kemampuan profesionalnya. Dengan kata lain guru yang memegang sertifikat pendidik adalah guru yang kemampuannya dapat dipertanggung jawabkan baik secara akademik, profesional, maupun pedagogik.
2. Lembaga yang berwenang memberi sertifikat
                Pada pasal 11 ayat (2) dari UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tertulis: ”Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.”
Membaca ketentuan tersebut jelaslah bahwa Universitas yang memiliki LPTK yang berwenang menilai atau menguji guru untuk memperoleh sertifikat pendidik. Jelaslah bahwa hanya lembaga pendidikan yang memiliki tenaga akademik dan profesional, yang wilayah studi dan kajiannya dibidang kependidikan yang berwenang untuk melakukan sertifikasi.
 Setiap LPTK yang melakukan proses sertifikasi perlu memilih :
1)       Sekolah-sekolah yang dijadikan tempat calon guru profesional berpraktik sebagai guru
2)       Memilih guru-guru profesional sebagai tenaga pengajar luar biasa LPTK sebagai satu tim yang terus menerus melakukan pengamatan dan penilaian terhadap kinerja calon guru profesional.
3)       Membentuk tim dosen multidisiplin ( ahli  teori pendidikan, teori belajar, ahli kurikulum, teknologi pendidikan, bidang studi yang relevan) yang terus memonitoring dan bekerja sama dengan para guru dosen luar biasa di sekolah.[13]

B. Profesionalitas Guru
1. Pengertian Profesionalitas
Secara etimologi profesi dari kata profession yang berarti pekerjaan. Professional artinya orang yang ahli. Profesionalisme artinya sifat profesional. Dalam kamus bahasa Indonesia profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan,kejuruan dan sebagainya)tertentu.
Profesional adalah (1)bersangkutan dengan profesi,(2)memerlukan kepandaian khusus untuk melaksanakannya dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Profesionalitas adalah suatu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya.
Profesional menurrut undang-undang no14 tahun 2005 bab 1 pasal1 ayat 4 digambarkan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang sumber penghasilan kehidupanya memerlukan keahlian,kemahiran dan kecakapan yang memenuhi standart mutu dan norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.Dari berbagai pengertian diatas tersirat bahwa dalam profesi digunakan tehnik dan prosedur intelektual yang harus dipelajari secara sengaja,sehingga dapat diterapkan untuk kemaslahatan orang lain. Dalam kaitan ini seorang pekerja profesional dapat dibedakan dari seorang pekerja amatir walaupun sama-sama menguasai sejumlah tehinik dan prosedur kerja tertentu,seorang pekerja profesional memilki filosofi untuk menyikapi dan melaksnakan pekerjaannya.

2. Syarat-syarat Profesi
                Tidak semua pekerjaan disebut profesi,hanya pekerjaan yang memenuhi  syarat-syarat tertentu yang disebut profesi.Menurut Syarifudin Nurdin ada delapan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu pekerjaan agar disebut sebagai profesi yaitu:
  1. Panggilan hidup yang sepenuh waktu
  2. Pengetahuan dan kecakapan atau keahlian
  3. kebakuan yang universal
  4. Pengabdian
  5. Kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif
  6. Otonomi
  7. Kode etik
  8. Klien
  9. Berperilku pamong
  10. Bertanggung jawab dan sebagainya.[14]

C. Hubungan Sertifikasi dan Peningkatan Profesionalitas Guru
                Dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional, karena itu guru dipersyaratkan memiliki kulifikasi akademik minimal sarjana atau diploma IV (SI/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.
Program sertifikasi guru  merupakan program pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tersebut, karena itu ,buku pedoman sertifikasi guru dalam jabatan melalui penilaian poropolio (Dirjen Dikti Depdiknas,2008) dinyatakan secara tersurat bahwa program sertifikasi guru dalam jabatan ini bertujuan: (1)menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendiddik profesional;(2)meningkatkan profesi dan hasil pembelajara; (3)meningkatkan kesejahteraan guru;(4)meningkatkan martabat guru dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
                Seorang guru yang mengikuti sertifikasi melalui jalur portopolio dan jalur pendidikan dalam bidang studi tertentu akan dinilai dari berbagai sudut: latar belakang pendidikan (ijzah), masa kerja, prestasi akademik, aktifitas lain yang berkaitan dengan proses belajar mengajar ataupun penilaian kinerja personal dalam PLPG. Dokumen portopolio idealnya mencerminkan sosok personal kita sebagai guru yang :
1.       Memilki ijazah yang sesuai dengan jenjang /bidang studi yang diajarkan.
2.       Memilki masa kerja (jam terbang) yang cukup memadai sebagai guru.
3.       Memilki profesi akademik yang cukup lumayan sesuai dengan baidang yang digeluti.
4.       Memilki aktifitas lain dalan bidang pendidikan atau kemasyarakatan secara proporsional.
Keempat hal diatas mencerminkan indikator guru sebagai pekerja yang profesional, yaitu bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan, keahlian/keterampilan/ kejuruan tertentu memerlukan kepandaian khusus untuk melaksanakannya, mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.[15]
PENUTUP
Kesimpulan
Sertifikasi pendidik pada hakikatnya adalah upaya untuk menjamin bahwa setiap guru yang bertugas sebagai guru benar-benar dapat dijamin kualifikasi dan kemampuannya. Baik kemampuan pedagogik, kepribadian, kemampuan sosial, maupun kemampuan profesionalnya.
Profesionalitas adalah suatu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya.
Guru adalah pendidik profesional, karena itu guru dipersyaratkan memiliki kulifikasi akademik minimal sarjana atau diploma IV (SI/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Program sertifikasi guru  merupakan program pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hamim Nur,Bahan Ajar PLPG Sertifikasi Guru/Pengawas dalam Jabatan,Surabaya:
LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2011
Http;//mukhlis hamid. Wordpress.Com/2009/07/31/Sertifikasi-dan-Peningkatan-
Profesionalisme-Guru/

Soedijarto, Landasan dan Arahan Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: Kompas Media,
2008

Diklat Profesi Guru, Bahan Ajar PLPG Sertifikasi Guru/Pengawas dalam Jabatan,
Surabaya: LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2009

SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN PROFESIONALIAS GURU
Sertifikasi pendidik pada hakikatnya adalah upaya untuk menjamin bahwa setiap guru yang bertugas sebagai guru benar-benar dapat dijamin kualifikasi dan kemampuannya. Baik kemampuan pedagogik, kepribadian, kemampuan sosial, maupun kemampuan profesionalnya. Dengan kata lain guru yang memegang sertifikat pendidik adalah guru yang kemampuannya dapat dipertanggung jawabkan baik secara akademik, profesional, maupun pedagogik. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
Setiap LPTK yang melakukan proses sertifikasi perlu memilih :
4)       Sekolah-sekolah yang dijadikan tempat calon guru profesional berpraktik sebagai guru
5)       Memilih guru-guru profesional sebagai tenaga pengajar luar biasa LPTK sebagai satu tim yang terus menerus melakukan pengamatan dan penilaian terhadap kinerja calon guru profesional.
6)       Membentuk tim dosen multidisiplin ( ahli  teori pendidikan, teori belajar, ahli kurikulum, teknologi pendidikan, bidang studi yang relevan) yang terus memonitoring dan bekerja sama dengan para guru dosen luar biasa di sekolah.
Profesionalitas adalah suatu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya
Guru adalah pendidik profesional, karena itu guru dipersyaratkan memiliki kulifikasi akademik minimal sarjana atau diploma IV (SI/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.Program sertifikasi guru  merupakan program pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tersebut.



BAB 1
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebgai pengakuan bahwa sebuah Negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu Negara pun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Dengan demikian, multikulturalisme merupakan sunnatullah yang tidak dapat ditolak bagi setiap Negara di dunia ini.

Pandangan dunia muktikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya tidak hanya bagi kewargaan dan kewarganegaraan, tapi juga bagi pendidikan. [16] Pendidikan , khususnya pendidikan islam, dengan paradigma pluralis – multicultural, menjadi kebutuhan yang mendesak untuk segera dirumuskan dan di desain dalam proses pembelajaran. Karena memiliki kontribusi dan nilai signifikan untuk membangun pemahaman dan juga kesadaran terhadap substansi dan nilai – nilai pluralitas dan multikiulturalitas.[17]

Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan pada tingkat deskriptif  dan normative, yang menggambarkan isu – isu dan masalah –masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Yang juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan – kebijakan dan strategi pendidikan bagi peserta didik di dalam masyarakat multicultural.[18]

B. RUMUSAN MASALAH
  1. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Multikultural ?
  2. Apa saja karakteristik dalm pendidikan agama berbasis multikultural ?
  3. Bagaimana urgensi pendidikan multikultural di Indonesia ?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
  1. Memahami tentang pengertian pendidikan multicultural
  2. Mengetahui karakteristik peendidikan agama berbasis multikultural
  3. Mengetahui urgensi pendidikan multikultural di Indonesia








MULTIKULTURAL
A.PENGERTIAN
Secara etimologi, pendidikan multukultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Sedangkan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan. Sedangkan secara terminology, berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan agama.[19]
Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan multicultural adalah masyarakat yang secara objektif memiliki anggota yang heterogen dan pluralis. Paling tidak, anggotanya bias dilihat dari eksistensi keragaman suku, ras, agama, dan budaya. Dalam pendidikan Multikultural, selalu muncul dua kata kunci pluralitas dan kultural. Sebab, pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala perbedaan dan keragaman, apapun bentuk perbedaan  keragamannya. Sedangkan kultur itu sendiri tidak bisa terlepas dari empat tema terpenting: aliran(agama), ras(etnis), suku, dan budaya.
Pendidikan Multikultural merupakan respon terhadap perkembangan populasi sekolah, sebagaimana tuntunan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan Multikultural itu mencakup semua siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Membangun pendidikan yang berparadigma pluralis. Multikultural merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi. Dengan paradigma semacam ini, pendidikan diharapkan akan melahirkan anak didik yang memiliki cakrawala pandang luas, menghargai perbedaan, penuh toleransi, dan penghargaan terhadap segala bentuk perbedaan.
Melihat uraian diatas, dapat diambil beberapa pemahan tentang pendidikan multikultural, antara lain :
  1. Merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu, yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada.
  2. Mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi : potensi intelektual, sosial’ moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya.
  3. Pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas.
  4. Pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama.

Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif dikalangan  anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan kearah tumbuhnya pandangan komprehensif




PENDIDIKAN DAN GENDER
BAB I
PENDAHULUAN
A.                   Latar Belakang
Isu gender saat masih banyak dibicarakan, walau pengertiam  jender sendiri sebagian orang masih belum memahami secara benar. Jender adalah suatu istilah yang masih baru. Menurut Shortwalter , wacana gender  mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1077,  ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal, tetapi menggantikannya dengan isu Jender.
Sesetaraan Gender sebenarnya telah ada dalam Islam, sebagai agama yang terakhir dan sempurna hal tersebut sudah banyak dijelskan didalam Al Quran dan dipraktekan oleh Rosul Muhammad SAW. Sebagai orang yang beriman hendaknya kita tidak menelan begitu saja isu kesetaraan Jender tatapi memfilter diri dan tetap berpedoman bahwa ajaran Islam yang harus kita akui kebenarannya.

Isu Jender  tidak  hanya  berkutat masalah peran sosial perempuan saja dalam kehidupan, tapi lebih dari itu ada masalah ekonomi, politik, juga di masalah pendidikan. Seorang perempuan mempunyai hak yang sama dalam  hal menunutut ilmu pengetahuan sebagaimana kaum lelaki.

Dalam Agama Islam  tugas manusia laki-laki dan perempuan adalah sama, tentunya mereka juga punya hak yang sama pula, hal ini sudah tercantum sepenuhnya dalam dua sumber huku Islam yang Utama yaitu Al Quran dan Hadis, jikalau  ada perbedaan peran tugas dan tanggungjawab dalam Al Quran dan sunnah itu disebabkan perbedaan firtah saja. Dan aturan Negara kitajuga  sudah memberikan ruang yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menerima pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi lagi dan kebebasan  memilih karier  yang dikehendaki oleh kaum  perempuan

B.   Rumusan Masalah
                1. Pengertian Pendidikan dan Gender
                2. Perspektif Gender dalam dalam Al Quran
                3. Praktek kesetaraan Gender pda zaman Rosul
                4. Gender dalam dunia Pendidikan Indonesia
5. Kunci bagi berhasilnya perspektif gender dalam kebijakan pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN

1.                  Pengertian Pendidikan dan Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yangberarti “jenis KElamin”. Dalam women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berusaha membuat perbedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas, kateristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Kata gender belum masuk dalam perbendaraan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khusunya di kantor mentri negara peranan urusan wanita dengan istilah jender. Jender diartikan sebagai interprestasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan.
Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial, budaya, psikologi dan aspek-aspek non biologis lainnya. Sedangkan sex secar umum digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, hormone, alat reproduksi dan karakter biologis lainnya.


2.                  Perspektif Gender dalam dalam Al Quran
Al Quran memberikan pandangan optimism terhadap kedudukan dan keberadaan seorang perempuan. Semua ayat dalam Al Quran yang menceritakan Nabi Adam dan Hawa selalu menekankan kedua belah pihak diposisi yang sama dengan mengunakan dhomir (kata ganti) untuk dua orang (dhomir mustana) .saat  keduanya memanfaatkan fasilitas surge (QS. 2:35), keduanya sama-sama digoda setan (QS.7:20), keduanya sama-sama memakan buah khuldi, dan keduanya juga sama-sama harus menerima hukuman dengan diusir dari surga (QS.7:23). Keduanya juga sama-sama memohon ampun dan diampuni oleh Allah SWT.

Dalam Al Quran juga menekankan tugas manusia baik laki-laki dan perempuan adalah sebagai hamba Allah (abdun) dan wakil Allah dimuka bumi (Kholifahtun fil ardh). Dan untuk melaksanakan kedua tugas tersebut laki-laki dan perempuan mempunya peran sama yang harus saling bantu membantu.

Ukuran kemulian di sisi Allah dalam Al Quran adalah prestasi dan kualitas bukan berdasarkan jenis kelamin dan suku bangsa. Bahkan dalam Al Quran, Allah menceritakan seorang dengan kelebihan yang dimiliki, ada yang punya kemandirian politik seperti ratu bilqis(QS.60:12), ada yang memiliki kemandirian ekonomi seperti yang pernah dilihat musa ada seorang wanita yang mengelolah peternakan (QS.28:23), kemandirian dalam menentukan pilihan hidup (QS. 66:11). Perempuan juga diperbolehkan melakukan oposisi terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran.Bahkan Al Quran menyerukan perang terhadap suatu kaum yang menindas kaum perempuan.

3.                  Praktek kesetaraan Gender pada zaman Rosul
Jika dilihat dari sejarah perkembangan karier kenabian, maka kebijakan yang mengarah pada kesetaraan jender sudah dilakukan pada zaman nabi.Perempuan dan anak-anak dibawah umur semula tidak berhak mendapatkan harta warisan, karena menganut hukum-hukum jahiliyah kemudian Al Quran memberikan hak bagi mereka dari harta warisan yang ditingalkan oleh ahlinya.Semula laki-laki boleh mengawini wanita dengan jumlah tanpa batas, kemudian dibatasi menjadi empat.Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi terhadap suatu perkara, namun akhirnya ada hal bagi wanita untuk menjadi saksi.

Tidak ditemukan dalam alquran dan hadis yang melarang kaum perempuan aktiif didunia politik.Sebaliknya kaum wanita dalam semua kelas sama-sama punya hak dalam mengembangkan profesinya seperti karier dalam politik, ekonomi, dan pendidikan.Hal ini menjadi sesuatu yang sangat langka sebelum Islam.

Bahkan dalam sejarah Rasulallah akan kita temui perempuan-perempuan yang mempunyai peranan dalam kehidupan sosial diberbagai bidang, dalam bidang politik dan peperangannnkita akan temukan Fathimah binti Rasulallah, Aisyah binti Abu Bakar, Atikah binti Yazid,  Ummu Salamah binti ya’qub dsb. Dalam bidang ekonomi maka kita akan kenan Khodijah binti Khuwailib seorang komisaris perusahaan, Zaynab binti Jahsy sebagai penyamak binatang, Ummi Salim binti Marham sebagai tukang rias pengantin, As Syufa sebagai sekretaaris dsb.

Dalam  hal pendidikan Rosulallah pernah didatangi sekelompok perempuan yang meminta   SAW untuk memberikan waktu khusus bagi perempuan untuk belajar langsung kepada Rosalallah. Dan sabda Rosul sendiri yang terkenal “ Mencari Ilmu wajib hukumnya bagi mukmin laki-laki dan perempuan”. Maka tidak heran dalam sejarah Islam diteukan pula perempuan yang ahli dalam ilmu pengetahuan, seperti : Aisyah istri Nabi, Sayidah Sakinah bin Husyen, Mu’nisat Al Ayubi yang menjadi guru ImamSyafi’I, Robiah al adawiyah dsb.

4.                  Gender dalam dunia Pendidikan Indonesia
Pemerintah telah memberikan ruang yang sama bagi setiap warga negara untuk bisa mengenyam bangku pendidikan tidak melihat laki-laki atau perempuan, ini bisa dilihat beberapa paying hukum yang ada, seperti :
-                      Peraturan Mendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah
-                      Permendiknas No. 84 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan.
Selain itu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga sudah menjadikan kesetaraan gender sebagai salah satu ranah yang perlu dijadikan sebagai acuan operasional penyusunan kurikulum. Ini artinya, dari sisi legal-formal, Pengarusutamaan Gender (PUG)  bidang Pendidikan tak perlu disangsikan lagi untuk diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas.

Namun, secara jujur harus diakui, implementasi PUG dalam proses pembelajaran masih terkendala banyak faktor. Selain kultur masyarakat kita sudah demikian lama dicengkeram oleh kokohnya budayapatriarki yang memandang kaum perempuan sebagai “makhluk kelas dua”, dukungan anggaran dan fasilitas sekolah yang memberikan ruang gerak yang memadai terhadap implementasi PUG bidang pendidikan juga belum berlangsung seperti yang diharapkan. Dalam konteks demikian, sangat beralasan kalau implementasinya dalam proses pembelajaran di kelas belum bisa berlangsung mulus dan kondusif.

Selain itu faktor Ekonomi masih juga menjadi kendala utama bagi keluarga dalam menyekolahkan anak perempuannya hingga ke jenjang lebih tinggi.Orangtua dari keluarga miskin menganggap anak-anak perempuan mereka tidak usah melanjutkan sekolah.Lebih baik anak perempuannya langsung dinikahkan atau didorong bekerja di sektor publik sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal. Kondisi demikian menjadikan anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menjadi kelompok sosial yang dilanggar hak sosial-ekonomi-budayanya. Mereka tidak bisa mendapatkan hak memperoleh (menikmati) pendidikan yang berkualitas.

5.                  Kunci bagi berhasilnya perspektif gender dalam kebijakan pendidikan
Hasil penelitian Dra Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si, menyatakan komponen kunci bagi berhasilnya perspektif gender masuk dalam kebijakan pendidikan adalah :
pertama, kapasitas SDM yang paham tentang gender, memiliki sensitivitas gender dan memiliki otoritas terkait dengan pembangunan pendidikan.
“SDM tersebut tidak bekerja dalam ruang yang vakum, tetapi berinteraksi secara terus menerus dengan faktor-faktor dari luar dirinya, sehingga memasukkan gender sebagai arus utama pada kebijakan pendidikan,” katanya.

Kedua, capacity building dan advokasi pengarusutamaan gender yang dirancang dengan baik, sesuai kebutuhan daerah dan kemudiaan ditaati.“Apabila desain capacity building dan advokai dirancang dengan baik, sesuai kebutuhan daerah dan kemudian ditaati, maka integrasi kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan pendidikan relatif mudah dilakukan,” paparnya.

Ketiga, Budaya organisasi yang mengedepankan visi dan misi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan geneder. Menurutnya, budaya organisasi yang telah responsif akan menumbuhkan kesadaran untuk memasukkan perspektif gender secara ekplisit pada dokumen kebijakan daerah yang memiliki dasar hukum yang kuat dengan adanya peraturan daerah (Perda).

“Dengan landasan hukum daerah yang kuat bisa menjadi mekanisme pemaksa bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah, sehingga gender benar-benar dapat menjadi arus utama pembangunan pendidikan,” kata doktor ke 957 dari UGM ini.
Keempat, jejaring serta kemitraan antara stakeholder pendidikan merupakan kekuatan utama dalam membangun aliansi strategis untuk melakukan perubahan kebijakan dari netral dan bias gender menjadi kebijakan responsif gender.

BAB III
Penutup

Jelas dalam Islam,  laki-laki dan  perempuan  mempunyai hak-hak yang sama dalam  hal  politik, ekonomi, pendidikan dsb dan  keduanya juga mempunyai kewajiban yang sama terhdap Allah SWT yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai wakil Allah untuk memakmurkan bumi. Untuk melaksanakan kedua tugas  tersebut manusia baik laki-laki dan  perempuan  harus berpendidikan. Pendidikan yang tidak hanya diperuntukkan untuk kaum lelaki saja tapi juga untuk kaum perempuan. Untuk memwujudkan  hal ini harus ada peran aktif  semua pihak, baik orang tua, guru, pihak sekolah, dan pemerintah.

Dengan pendidikan  laki-laki dan perempuan bisa bekerjasama  dan tolong-menolong dalam kebaikan  sebagaimana firman Allah dalam  QS.At-Taubah : 71: ”Dan orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagaimana mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.Mereka itu akan diberi rahmat Alaoh, sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.



Daftar Pustaka

1.       Nasarudin Umar, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 1, 1998
2.       http://www.ugm.ac.id/




[1]PENDIDIKAN ISLAM MASA ORDE LAMA « Mangun Budiyanto.htm
[2]Materi Kuliah PAI-K STAIN Jember angkatan 2009_ ILMU PENDIDIKAN ISLAM _ Pendidikan Islam Masa OrdeLama.html
[3]Hasbullah, Dasar – dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm 131
[4] http://www.anneahira.com/kebijakan-pemerintah-orde-baru.htm
[5]Ali muhdi amnur, Konfigurasi politik Pendidikan Nasional,Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007, hlm 22
[6]Http:// Ditpertais.warta.swara.17-01.asp.html
[7] Prof.Dr.S.Nasution,M.A. asas asas kurikulum . hal 2
[8]Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta
Siregar, Eveline dan Nara, Hartini. 2010. Buku Ajar Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : UNJ

[9] Sisdiknas No 20 tahun 2003
[10] Ibid sisdiknas
[11]Diklat Profesi Guru,Bahan Ajar PLPG Sertifikasi Guru/Pengawas dalam Jabatan, Surabaya: LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2009, hlm. 04

[12] Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: Kompas Media, 2008, hlm. 176
[13]Ibid, hlm. 184
[14] Nur Hamim, Bahan Ajar PLPG Sertifikasi Guru/Pengawas dalam Jabatan, Surabaya: LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2011, hlm. 02
[15] Http;//mukhlis hamid. Wordpress.Com/2009/07/31/Sertifikasi-dan-Peningkatan-Profesionalisme-Guru/(Senin,19-12-2011, 14.15 Wib)
[16] Azumardi Azra untuk Zakiyatun Baidhawi, Pendidikan Agama Berrwawasan Multikultural , prakata
[17] Ngainun Naim & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, hal. 8-9
[18] Zakiyatun Baidhawy, Op.,Cit,. prakata
[19]Husniyatus Salamah Zainiyati, ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman, hal. 136

2 komentar:

  1. aquwh bituh bgt makalah nie wat refrensi kulaih aquwh,,,
    syukkron katsir,,,,,,,,,,

    BalasHapus