KUMPULAN MAKALAH
POLITIK DAN ETIKA PENDIDIKAN
DOSEN PENGAMPU : M. FAHRUDIN, M.Pd.I
OLEH
SEMESTER V
PROGAM SARJANA (S1), JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL URWATUL WUTSQO
JOMBANG 2011/ 2012
PENGERTIAN, URGENSI
POLITIK DAN ETIKA PENDIDIKAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan dalam
arti luas memiliki tujuan menciptakan generasi yang emansipatoris, terbebas
dari belenggu keterbelakangan serta berbagai problem-problem sosial dalam
masyarakat yang dapat menyebabkan terhambatnya kesejahteraan bersama.
Dikarenakan hal tersebut maka diperlukan adanya suatu sistem kenegaraan atau
sistem poliltik yang mengatur pendidikan tersebut sesuai dengan tujuan yang
telah terjabarkan diatas.
Tujuan pendidikan
sekolah semata-mata menciptakan generasi yang cerdas, namun juga memiliki etika
(moral) yang dapat membantunya dalam bersosialisasi dalam masyarakat, karena
itulah pendidikan secara idealnya bersumber atas landasan lokad (lingkungan dan
situasi sekarang) berkaitan dengan kebutuhan masyarakatnya dan memperhitungkan
motif-motif sosial ekonomi, kultur dan politis yang terdapat pada situasi
tersebut. Sehingga dapat mempersiapkan individu untuk menghadapi masa-masa yang
akan terus berubah kedepannya.
Merujuk dari
permasalahan diatas, maka dipandang perlu bagi para pendidik (guru) dan perencanaan
pendidikan memahami politik dan etika dalam pendidikan, seberapa jauh
pemerintah dan partisipasi masyarakatnya, serta bagaimana etika para pelaku
pendidik, sedikit akan dibahas pada makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Dari penjelasan
tersebut, dengan makalah ini kami akan mencoba membahas masalah sebagai
berikut:
- Pengertian etika dan politik dalam pendidikan.
- Urgensi etika dan politik itu sendiri untuk pendidikan.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian etika dan politik
1. Etika
Etika secara
etimologi berasal dari bahasa Yunani “etos” berarti adat istiadat/kebiasaan,
dalam artian etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang masyarakat, kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari
generasi ke genari. Dalam bahasa lain etika lebih dikenal dengan sebutan moral,
namun kedua kata tersebut (etika dan moral) memiliki perbedaan makna. Etika
adalah ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah
secara moral tentang bagaiman harus bertindak dalam situasi konkrit, etika
berupa refleksi kritis untuk menentukan pilihan, sikap dan bertindak secara
benar ketika terjadi dilema dalam menentukan kegardaan moral yang sama-sama sah
dalam kehidupan. Sedangkan moral bukanlah ilmu untuk menelaah tetapi ia menjadi
obyek dari etika, ketika etika berfungsi sebagai ilmu yang menelaah.
Kaitannya dengan
pendidikan etika adalah bagaimana agar suatu poses pendidikan berjalan sesuai
etika di masyarakat, sebab ketika suatu pendidikan berbeda dengan sistem yang
berlaku di masyarakat, maka pendidikan tersebut tidak akan bisa berkembang
bahkan dijauhi oleh masyarakat dan akhirnya akan kehilangan eksistensinya.
2. Politik
Secara etimologis
politik berasal dari bahasa Yunani “polis” yang berarti negara kota. Dari kata
tersbut (polis) muncullah istilah “politikos” yang berarti kewarganegaraan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) politik berarti :
- Pengetahuan tentang ketata negaraan yaitu mengenai sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya.
- Segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan, siasat dan sebagainya, tentang perintahan ataupun terhadap negara lain.
- Kebijakan, cara bertindak dalam menghadapi suatu masalah tertentu.
Politik memiliki
definisi yang banyak tergantung sudut pandang yang digunakan oleh si
pendefinisi. Beberapa ahli semisal Ramlan Surbakti yang mengatakan bahwa
sekurang-kurangnya ada lima pandangan tentang politik, yang salah satunya ia
mendefinisikan sebagai berikut: politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga
negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. (Surbakti 1992: 1-2)
Berdasarkan
pengertian tersebut dan jika dikaitkan dengan pendidikan, politik dapat
diartikan sebagai cara atau metode yang didasarkan pada kebudayaan bangsa
tertentu guna mempengaruhi pihak-pihak tertentu dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan negara tersebut.
Perbedaan
kebijakan pendidikan antara negara satu dengan negara lain disebabkan oleh
adanya perbedaan sistem politik yang dianut. Dari statement tersebut dapat
disimpulkan bahwa antara sistem politik dan kebijaksanaan pendidikan saling
terkait, keterkaitan tersebut dapat dilihat dari dihasilkannya kebijaksanaan
dalam dunia pendidikan tersebut oleh sistem politik.
B.
Urgensi etika dan politik bagi kelangsungan
pendidikan
Pendidikan merupakan
tindakan yang menggabungkan antara siasat (politik) untuk menciptakan berbagai
alternatif kehidupan yang baru. Pendidikan juga merupakan ajang untuk
menuangkan komitmen yang tinggi dari para pendidik kepada murid guna
menciptakan suatu sistem yang emansipatif bukan sekedar memenuhi tuntutan
pedagogis semata melainkan tidak terlepas dari etika masyarakat dimana
para siswa hidup.
Politik dan etika
dalam pendidikan adalah langkah strategis untuk mencapai tujuan perbaikan
pendidikan seperti yang diharapkan. Paulo Freire mengatakan bahwa antara
pendidikan dan “politik pendidikan” tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain.
Dua ranah ini melekat secara integral karena konsepsi pendidikan tanpa politik
dan etika, pendidikan tidak akan menghasilkan suatu kebijakan pembangunan
manusia (humaniora) yang efektif untuk jangka panjang. Dengan demikian,
sesungguhnya politik pendidikan adalah strategi politik untuk memperbaiki
pendidikan di wilayah decision-makers, agar gagasan itu memanifestasi dalam
kenyataan.
Sedang Kaidah etika dalam pergaulan sehari-hari di
masyarakat (pleasant living
together) tertuju kepada terciptanya ketertiban, kedamaian dan keadilan dalam
kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian atau
ketenteraman (peaceful livingtogether).
Kaitannya dengan tugas pendidik etika tersebut dipakai untuk menilai
bagaimana sebagai professional menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik
sebagai manusia yang berbudi luhur, juiur, bermoral, penuh integritas dan
bertanggung jawab. Dalam hal ini yang ditekankan adalah “sikap atau
perilaku” mereka dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai profesional yang
diembannya untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan itu sendiri.
perilaku” mereka dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai profesional yang
diembannya untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Pada akhirnya nilai etika standard profesi pendidik adalah memberikan jalan,
pedoman, tolok ukur dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa
yang akan dilakukan dalam berbagai situasi dan kondisi tertentu (politik) dalam
memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Pengambilan keputusan etis atau
etik, merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai seorang
profesional yang telah memperhitungkan konsekuensinya, secara matang
baik-buruknya akibat yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara obyektif, dan
sekaligus memiliki tanggung jawab atau integritas yang tinggi. Kode etik
profesi yang telah dibentuk dan disepakati tersebut bukanlah ditujukan untuk
melindungi kepentingan individual pendidik (subyektif), tetapi lebih ditekankan
kepada kepentingan yang lebih luas (obyektif) yaitu terwujudnya tujuan dari
pendidikan itu sendiri.
Pada penjelasan
sebelumnya telah dijelaskan bahwa kebijakan pendidikan tiap negara berbeda
dikarenakan sistem politiknya atau landasan hukum negara yang dipakai berbeda pula. Kalau di dalam dunia
politik kita melahirkan sebuah produk hukum yang kita kenal dengan UUD 1945,
maka kebijakan – kebijakan pendidikan yang diambil tidak boleh sampai
menyimpang dari UUD tersebut. Di dalam pembukaannya (UUD 1945 alenia IV)
dikatakan, bahwa salah satu tujuan kita berbangsa adalah mencerdaskan semua warga
Indonesia (Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia), maka semua kebijakan yang diambil harus berlandaskan hal tersebut.
Dengan demikian jelaslah betapa urgennya etika dan politik untuk pendidikan itu
sendiri.
PENUTUPDari penjabaran – penjabaran di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
-
Politik
jika dikatkan dengan dunia pendidikan maka dapat didefinisikan sebagai cara
atau metode yang didasarkan pada kebudayaan bangsa tertentu guna mempengaruhi
pihak-pihak tertentu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional negara
tersebut. Sedang etika jika dikaitkan dengan pendidikan pula dapat diartikan
tentang bagaimana agar suatu proses pendidikan berjalan sesuai etika di
masyarakat.
-
Keberadaan
politik dan etika memiliki peranan yang penting bagi pendidikan, sebab kedua
komponen ini mempunyai andil yang besar dalam usaha terwujudnya tujuan
pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam UUD
1945.
-
Kaitannya dengan tugas pendidik etika dan politik
tersebut dipakai untuk menilai tingkat keprofessionalan pendidik dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya dengan baik sebagai manusia yang berbudi luhur, juiur,
bermoral, penuh integritas dan bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami
Ilmu Politik. Jakarta: Widia Sarana Indonesia Gramedia.
Kartono, Kartini. 1990. Wawasan Politik Mengenai Sistem
Pendidikan Nasional. Bandung:
Mandar Maju.
http://asyilla.wordpress.com/2007/06/30/pengertian-etika/
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ORDE LAMA DAN ORDE BARU
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pendidikan adalah pilar utama berdirinya sebuah bangsa.
Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha untuk merancang masa depan umat
manusia sebagai genarasi yang memajukan sebuah bangsa. Dalam konsep dan
implentasi pendidikan harus memperhitungkan berbagai faktor.Konsep
pendidikan harus disesuaikan dengan keinginan, ukuran, mental, budaya, sosial,
ekonomi, dan politik sebuah kelompok masyarakat yang bersangkutan.Demikian juga
konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia yang tidak pernah lepas dari
unsur politik dan kebijakan pemerintah.
Sejak
pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan
anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau
pemimpin yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan
mereka seperti “manusia setengah dewa”).Namun tiap-tiap masa pemerintahan
mempunyai cirinya masing-masing dalam menjalankan arah kebijakan anggaran
negara. Hal ini dikarenakan untuk disesuaikan dengan kondisi: stabilitas
politik, tingkat ekonomi masyarakat, serta keamanan dan ketertiban.
Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mengemukakan
hasil analisa kami mengenai kebijakan kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan mulai dari masa orde lama hingga reformasi, semoga melalui makalah
ini akan bisa diambil sebuah pemahaman baru dan solusi untuk kemajuan sistem
pendidikan indonesia ke depan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kebijakan pemerintah
bidang pendidikan masa orde lama?
2. Bagaimana kebijakan
pemerintah bidang pendidikan masa orde Baru?
3. Bagaimana kebijakan
pemerintah bidang pendidikan masa Reformasi?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mahasiswa mengetahui
kebijakan pemerintah bidang pendidikan masa orde lama
2. Mahasiswa mengetahui
kebijakan pemerintah bidang pendidikan masa orde Baru
3. Mahasiswa mengetahui
kebijakan pemerintah bidang pendidikan masa Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KEBIJAKAN
PEMERINTAH PADA MASA ORDE LAMA
Indonesia
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan mayoritas penduduk beragama Islam
dan menyatakan diri sebagai negara yang berdasar Pancasila dengan demokrasi
liberal pada waktu itu. Namun demokrasi yang diterapkan pada akhirnya hanya
menimbulkan permasalahan konflik antar etnis, agama dan ideologi bagi rakyat
Indonesia.Partisipasi politik hanya melahirkan harapan-harapan masyarakat yang
tidak realistis, yang pada akhirnya menimbul-kan perpecahan di kalangan warga negara.
Perubahan-perubahan
setelah kemerdekaan meliputi berbagai aspek, tidak hanya dalam bidang
pemerintah tetapi juga dalam pendidikan.Perubahan yang terjadi dalam bidang
pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang
menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa
Indonesia[1].
Untuk
mengadakan penyesuaian dengan cita-cita tersebut, maka bidang pendidikan
mengalami perubahan diantaranya dengan menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan
dan aspirasi, sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 yang berbunyi :
1.
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran.
2.
Pemerintah mengusahakan suatu system pengajaran nasoinal
yang diatur dengan undang-undang.
Pada periode Orde Lama ini, berbagai peristiwa dialami
oleh bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan, yaitu:
1.
Dari tahun 1945-1950 Landasan Idiil pendidikan ialah UUD
1945 dan falsafah Pancasila.
2.
Pada permulaan
tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) di
Negara bagian timur dianut suatu system pendidikan yang diwarisi dari zaman
pemerintahan Belanda.
3.
Pada tanggal 17Agustus 1950, dengan terbentuknya kembali
Negara Kesatuan RI, Landasan Idiil UUDS RI.
4.
Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan RI kembali ke UUD
1945 dan menetapkan Manifesta Politik RI menjadi Haluan Negara. Dibidang
pendidikan ditetapkan Sapta Usaha Tama dan Pancawhardana.
5.
Pada tahun dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.yang mengamanatkan kepada
pemerintah indonesia untuk mengusahakan satu sistem pengajaran nasional yang
diatur oleh undang – undang[2]
Kendatipun demikian
ternyata usaha menyusun undang – undang tentang sistem pendidikan nasional
tersebut bukanlah persoalan mudah. Sejak tahun 1945, undng – undang sebagai
mana dikehendaki pasal 31 ayat 2 UUD 1945 tersebut baru dapat direalisasikan
pada tahun 1989, yaitu dengan undang –
undang nomor 2 tahun 1989 pada tanggal 27 maret 1989, selanjutnya disempurnakan
dengan UU No. 20 tahun 2003[3].
B.
KEBIJAKAN
PEMERINTAH PADA MASA ORDE BARU
Kebijakan pemerintah orde baru, sebelum maupun
setelahnya seringkali menganak tirikan pendidikan. Pendidikan mempunyai
anggaran paling kecil dari dana APBD dan sistem pendidikan yang terpusat atau
dengan istilah sentralilasi membuat kualitas pendidikan Indonesia semakin
memburuk. Yang lebih menyedihkan dari kebijakan pemerintahan orde baru terhadap
pendidikan adalah sistem doktrinisasi. Yaitu sebuah sistem yang memaksakan
paham-paham pemerintahan orde baru agar mengakar pada benak anak-anak. Proses
indoktrinisasi ini tidak hanya menanamkan paham-paham orde baru, tetapi juga
sistem pendidikan masa orde baru yang menolak segala bentuk budaya asing, baik
itu yang mempunyai nilai baik ataupun mempunyai nilai buruk. Paham orde baru
yang membuat kita takut untuk melangkah lebih maju. kebijakan pendidikan pada masa orde baru
mengarah pada penyeragaman. Baik cara berpakaian maupun dalam segi pemikiran.
Hal ini menyebabkan generasi bangsa kita adalah generasi yang mandul.
Maksudnya, miskin ide dan takut terkena sanksi dari pemerintah karena semua
tindakan bisa-bisa dianggap subversif. Tindakan dan kebijakan pemerintah orde
baru-lah yang paling benar[4].
Pada sistem pendidikan Orde Baru, ada tiga
ciri utama yang dapat dicermati di dalam pendidikan nasional kita sampai
sekarang ini. "Pertama, adalah sistem yang kaku dan sentralistik; yaitu
suatu sistem yang terperangkap di dalam kekuasaan otoritas pasti akan kaku sifatnya.
Karena ciri-ciri sentralisme,
birokrasi yang ketat,
telah mewarnai penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional. Kedua, sistem pendidikan nasional didalam
pelaksanaanya telah diracuni oleh unsur-unsur korupsi, kolusi, nepotisme dan
konceisme (cronyism). ketiga,
sistem pendidikan yang
tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Oleh karena
itu, tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat telah sirna dan
diganti dengan praktek-praktek memberatkan rakyat untuk memperoleh pendidikan
yang berkualitas [Tilaar,1998:26-28]. Di samping itu, sistem pendidikan kita
sekarang ini belum mengantisipasi masa depan [Ahmad Tafsir,1999:7] dan
perubahan masyarakat.
C. KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA MASA REFORMASI
Dalam era reformasi ada kesan pengembangan kebijakan
pendidikan tampak demokratis.Misalnya, antara lain tampak dengan
dikembangkannya Kurikulum 2004 (KurikukulumBerbasis Kompetensi), MBS (Manajemen
Berbasis Sekolah), Komite Sekolah. Hal
inimerupakan upaya penerapan
secara konkrit otonomi
pendidikan. Tetapi dalampelaksanaannya masih jauh dari harapan.
Kebijakan pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional) sebagai dasar untuk menentukan
kelulusan dinilai tidak sinkron denganotonomi daerah. Karena berakibat dapat
mengurangi otonomi kewenangan akademik guru dan daerah (Cholisin : 2004b) .
Coba bandingkan dengan negara tetangga Vietnamyang menganut sistem politik
otoriter, tetapi dalam hal penentuan kelulusan siswadiserahkan sepenuhnya
kepada sekolah.Sekolah menyelenggarakan ujian berdasarkanstandar nasional.
Disamping itu dilihat dari segi cakupan kompetensi yang diuji dalamUAN dinilai
tidak valid , karena hanya mengungkap aspek kognitif. Hal ini dinilai
telahmereduksi tuntutan kompetensi dalam KBK yang mengharuskan ketiga aspek
kompetensiyakni kognitif, afektif
dan psikomotorik untuk
dievaluasi.
Di dalam pasal 33 UUD 1945 tujuan pendidikan yang telah
terumuskan secara eksplisit pada beberapa dokumen yang dikeluarkan pemerintah
republik indonesia pada tahun 1950, 1954,1965, 1966, dan 1973. Semuanya selaras
dengan nilai – nilai pancasila, termasuk undang – undang sisdiknas yang
didalamnya memuat tujuan pendidikan, ia bukanlah sebuah undang – undang yang
bertentangan dengan nilai – nilai Pancasila, dan lain – lain.
Namun keideologian Pancasila bahkan seperti “ pingsan dalam
kedudukan”, untuk tidak mengatakan mati. Keberadaannya hanya sebagai simbol
yang tidak berpengaruh, butir – butirnya hanya formalitas kemanusiaan atau
berhenti pada dataran konsep yang pernah ingin dicapai[5].
Reformasi
98” diakui atau tidak adalah awal perubahan wajah dari kapitalisme
diIndonesia.Agar bangsa Indonesia dapat kembali melaksanakan pembangunan
menurutHaryono Suyono, maka krisis multi dimensi yang terjadi perlu segera
diatasi danreformasi dijaga agar tidak salah arah.Untuk itu, maka perlu ditetapkan
dasar-dasar kebijakan yang dapat diterima semua fihak. Untuk menetapkan
dasar-dasar kebijakanyang dapat diterima semua fihak tadi, perlu dilakukan
rekonsiliasi untuk mencapaikonsensus
nasional. Dasar-dasar kebijakan
yang ingin dicapai
melalui KonsensusNasional
tersebut,
pertama,
reformasi yang dilakukan hendaknya dilihat sebagai prosespembaharuan yang
sambung-menyambung mulai dari
Orde Lama ke
Orde Baruselanjutnya ke Reformasi.
Orde lama yang membentang dari 17 Agustus 1945 hingga1967, dan Orde Baru yang
berlangsung dari tahun 1967 hingga 1998 serta Reformasiyang dimulai 22 Mei
1998, masing-masing memiliki misinya sendiri yang perlu bagikemajuan kehidupan
berbangsa dan bernegara serta untuk menegakkan persatuan dalamNegara Kesatuan
Republik Indonesia. Kita harus
menengok kebelakang(Haryono Suyono, 2003) dengan hati yang besar, dan melihat
kedepan dengan penuh percaya diri untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa
kita, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Kedua,
dengandicapainya Konsensus Nasional, maka stabilitas nasional akan lebih mudah
untuk diwujudkan, sehingga kita dapat melaksanakan reformasi dengan tertib dan
teratur.
Ketiga,
reformasi hanya akan dapat berjalan lancar dan membawa hasil yang positif. apabila dalam
pelaksanaannya Hak Asasi Manusia dijunjung tinggi. Hak asasi manusiahanya
mungkin berkembang dengan subur dalam masyarakat yang demokratis. Karena itu reformasi harus
dilakukan secara demokratis.
Kenyataan selama ini
memang menunjukkan bahwa dalam Negara dengan system diktator, ataupun
bentuk-bentuk otoriter lainnya Hak Asasi Manusia selalu diabaikan. Hanya dalam
Negara yang menganut sistim demokrasi Hak Asasi Manusia dijunjung tinggi.
Keempat,
menempatkan manusia sebagai titik sentral reformasi. Reformasi harussecara
konsisten diarahkan pada pembangunan manusia dan pemberdayaan masyarakat,agar
mampu menjadi kekuatan yang mandiri. Manusia Indonesia diberi
dukunganpemberdayaan yang diperlukan agar menjadi kekuatan pembangunan yang
mampumengembangkan prakarsa, memiliki vitalitas yang tinggi, dan siap bekerja.
Kelima,
agar reformasi berjalan dengan tertib dan teratur, masyarakat Indonesia harus
didorong untuk menjadi masyarakat yang tertib, teratur, dinamis, menjunjung
tinggi nilai-nilai demokrasidan hak asasi manusia.Untuk itu, supremasi hukum
perlu ditegakkan. Hal ini juga perluguna menghindari terjadinya penindasan dan
pengabaian atas hak asasi manusia yangmembuat
manusia Indonesia tidak
bisa menjadi perhatian
utama dalam prosespembangunan.
Keenam, kewibawaan hukum dan lembaga-lembaga penegak hukum yang
cenderung merosot dewasa ini, perlu segera dibenahi dan ditingkatkan perannya
sebagai institusiyang dapat benar-benar
dapat menjamin kelangsungan
pembangunan yang akan dijalankan. Apabila hukum dan
lembaga-lembaga penegak hukum dapat berperan secara baik dengan menjunjung
tinggi keadilan, maka diharapkan akan dapat mendorong timbulnya rasa
kepercayaan dan keamanan masyarakat.Pembangunan
harus dilakukan dengan
mengutamakan kekuatan bangsa
Indonesia sendiri, meskipun tidak menutup kemungkinan diterimanya
bantuan luar negeri sejau hbantuan tersebut tidak mengikat secara politik. Untuk
kebijakan di bidang ideologi,pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dengan jelas
menyatakan bahwa Pancasilaadalah dasar Negara. Hal ini berarti bahwa Pancasila
merupakan nilai dasar yangnormatif terhadap penyelenggaraan Negara. Karena
itulah Pancasila dijadikan sebagaiideologi Negara yang memuat norma-norma untuk
mengukur dan menentukan keabsahanbentuk-bentuk penyelenggaraan Negara serta
kebijaksanaan-kebijaksanaan penting yangdiambil dalam proses
pemerintahan.Sebagai ideologi Negara,
Pancasila bisa mempunyai arti yang negatif. Sebab ideologydapat diartikan
sebagai nilai-nilai yang menentukan seluruh segi kehidupan manusiasecara total,
serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai denganapa yang
digariskan oleh ideologi. Akibatnya, tidak ada kebebasan pribadi dan ruanggerak
manusia sangat dibatasi.Disamping itu ideologi dapat dijadikan alat legitimasi
olehpenguasa untuk melakukan tindakan pembenaran. Sebagai nilai dasar yang
normatif terhadap penyelenggaraan Negara,
Pancasila mempunyai fungsi
penting dalammenggambarkan tujuan
Negara Republik Indonesia. Pancasila memberikan perlindungankepada segenap
bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.Pada hakekatnya nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan kenyataan hidup masyarakat Indonesia memangterjadi
hubungan dialektis, sehingga berlangsung pengaruh timbal balik dalam interaksi.
Intinya pendidikan
Indonesia masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materilisme-kapitalisme.
Ideologi pendidikan yang demikian ini memang secara teoritis tidak nampak, akan
tetapi secara praktis merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi.
Materialisasi atau proses menjadikan semua bernilai materi telah merunyak di
segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan Islam.
Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta
didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri.
Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa
yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut. Dalam masalah kurikulum
pendidikan misalnya diarahkan kepada kurikulum yang memberikan bekal kepada
peserta didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan
yang besar.Kurikulum tersebut dibuat sedemikian rupa dan untuk mengikutinya
harus mengeluarkan uang sangat sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya
haru mengeluarkan dana yang besar, maka dapat dibayangkan setelah memperoleh
pengetahuan tersebut. Peserta didik yang telah selesai akan menggunakan
pengetahuan tersebut paling untuk mengembalikan modal dan tentu berupaya untuk
mendapatkan untung sebesar-besarnya. Karena memang teori modern mengatakan
bahwa pendidikan
adalah investasi di masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai
modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan
prinsip ekonomi yang diajarkan di sekolah menengah adalah keluarkan modal
sedikit mungkin dan hasilkan keuntungan sebesar-besarnya.Dari sini dapat
dipahami bahwa kurikulum pendidikan telah dijadikan atau telah diselewengkan tujuannya
hanyauntuk
mendapatkan pekerjaan. Sedangkan untuk menjadikan manusia yang utuh bukan hanya
dimarjinalkan, akan tetapi memang dimatikan karena prinsip ekonomi tidak
mengenal nilai-nilai spiritual, moralitas, kebersamaan[6].
BAB III
KESIMPULAN
Perubahan yang
terjadi dalam bidang pendidikan masa orede lama yakni setelah kemerdekaan
diproklamirkan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang
menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa
Indonesia.
Untuk mengadakan penyesuaian dengan
cita-cita tersebut, maka bidang pendidikan mengalami perubahan diantaranya
dengan menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal
31, namun dalam perealisasinya mengalami kesulitan.
Pada sistem pendidikan Orde Baru, ada
tiga ciri utama yang dapat dicermati di dalampendidikan nasional kita sampai
sekarang ini. "Pertama, adalah sistem yang kaku dansentralistik; yaitu
suatu sistem yang terperangkap di dalam kekuasaan otoritas pasti akankaku sifatnya.
Karena ciri-ciri sentralisme,
birokrasi yang ketat,
telah mewarnaipenyelenggaraan
sistem pendidikan nasional. Kedua, sistem pendidikan nasional didalam
pelaksanaanya telah diracuni oleh unsur-unsur korupsi, kolusi, nepotisme
dankonceisme (cronyism). ketiga,
sistem pendidikan yang
tidak berorientasi padapemberdayaan masyarakat.
Dalam era reformasi ada kesan pengembangan kebijakan pendidikan tampak
demokratis.
Tetapi
dalampelaksanaannya masih jauh dari harapan. Kebijakan pelaksanaan UAN
(Ujian Akhir Nasional) sebagai dasar untuk menentukan kelulusan dinilai tidak
sinkron denganotonomi daerah. Karena berakibat dapat mengurangi otonomi
kewenangan akademik guru dan daerah
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, Dasar – dasar Ilmu Pendidikan , Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
muhdi amnur
Ali, Konfigurasi politik Pendidikan Nasional,Yogyakarta: Pustaka
Fahima,2007
Pendidikan
Islam Masa Orde Lama « Mangun Budiyanto.htm
Materi Kuliah PAI-K STAIN Jember angkatan
2009_ ILMU PENDIDIKAN ISLAM
_Pendidikan Islam Masa Orde Lama.html
http://www.anneahira.com/kebijakan-pemerintah-orde-baru.htm
Http://
Ditpertais.warta.swara.17-01.asp.html
MANAJEMEN
PERUBAHAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Zaman yang terus
maju dan berkembang menuntut adanya perubahan baik cakupannya kecil maupun luas
sebagai tuntutan perkembangan zaman tersebut. Upaya menjalankan perubahan
tersebut tentunya tidak akan terwujud secara baik tanpa adanya sebuah system
pengaturan atau system manajemen, yang dalam pokok kajian kali ini disebut
dengan manajemen perubahan.
Adanya suatu system
manajemen perubahan tidak akan bias terlepas dari seorang leadership (pemimpin)
sebagai agent of change yang berjiwa
manajer. Dalam makalah singkat ini, akan coba di bahas mengenai masalah-masalah
pokok manajemen perubahan yang terumuskan dalam rumusan masalah berikut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang kami kemukakan diatas, maka dapat dikaji beberapa masalah yang
akan kami bahas dalam penulisan ini diantaranya:
- Apa pengertian manajemen perubahan?
- Apa saja prinsip-prinsip manajemen perubahan?
- Bagaimana pelaksanaan manajemen perubahan?
- Apa saja tahap-tahap manajemen perubahan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Seperti yang telah
diketahui manajemen mempunyai arti proses yang terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, pergerakan, penguasaan serta evaluasi yang dilakukan oleh
pihak organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan perubahan adalah
suatu proses yang menjadikan sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya.
Berdasarkan atas
pengertian manajemen perubahan diatas, maka dapat disimulkan pengertian dari
manajemen perubahan itu sendiri.Manajemen perubahan dapat didefinisikan sebagai
upaya yang dilakukan untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena
terjadinya perubahan dalam suatu organisasi tertentu baik dari dalam atau luar
organisasi.
Manajemen perubahan
itu sendiri tidak akan terlepas dari adanya kepemimpinan transformasion dari
pimpinannya. Dalam usaha pengelolaan karena adanya perubahan tersebut bertujuan
agar organisasi tidak menjadi statis, melainkan tetap dinamis sesuai dengan
perkembangan zaman.
B. Prinsip-Prinsip
Manajemen Perubahan
Dalam penerapan
manajemen perubahan menurut AL Kinson terdapat 3 rinsip yang harus diperhatikan
yaitu 3C (Clarity, Communication, consistency).
1. Clarity (kejelasan)
Yang dimaksud
kejelasan disini adalah kejelasan tujuan akibat dari adanya perubahan itu,
tidak harus kejelasan proses karena proses terkadang harus berubah.
2. Communication
(komuikasi)
Komunikasi merupakan
komponen penting dalam manajemen perubahan, tanpa adanya prinsip ini
pelaksanaan dari manajemen perubahan itu sendiri akan berjalan buruk.
3. Consistency
(konsisten)
Sebuah organisasi
harus konsisten terhadap tujuan yang mereka capai agar tidak ada perasaan skeptic terhadap tujuan
awal. Seberat apapun situasi yang timbul dari adanya perubahan tersebut harus
dihadapi demi tujuan awal.
C. Pelaksanaan
Manajemen Perubahan
Dalam
pelaksanaannya, manajemen perubahan membutuhkan sosok pemimpin
transformasional. Kepemimpinan transformasional menurut Sudarwan Danim
diartikan kemampuan dari seorang pemimpin dalam bekerja dengan, dan, atau
melalui orang lain untuk menstranformasikan secara optimal sumber daya
organisasi dalam rangka mencapai tujuan bermakna, sesuai target yang telah
ditetapkan.
Dengan demikian
seorang pemimpin organisasi disebut menerapkan kaidah kepemimpinan
transformasional, jika dia mampu mengubah energi sumber daya, baik manusia,
instrument, maupuan situasi untuk mencapai tujuan-tujuan reformasi suatu
organisasi.
D.
Tahap-Tahap
Manajemen Perubahan
Suatu perubahan terjadi melalui tahap-tahapnya. Pertama-tama adanya dorongan dari dalam
(dorongan internal), kemudian ada dorongan dari luar (dorongan eksternal). Untuk manajemen perubahan perlu diketahui
adanya tahapan perubahan. Tahap-tahap
manajemen perubahan ada empat, yaitu:
Tahap 1, yang merupakan tahap identifikasi
perubahan, diharapkan seseorangdapat mengenal perubahan apa yang akan
dilakukan /terjadi. Dalam tahap ini
seseorang atau kelompok dapat mengenal kebutuhan perubahan dan mengidentifikasi
tipe perubahan.
Tahap 2, adalah tahap perencanaan perubahan. Pada tahap ini harus
dianalisis mengenai diagnostik situasional tehnik, pemilihan strategi
umum, dan pemilihan. Dalam
proses ini perlu dipertimbangkan adanya factor pendukung sehingga perubahan
dapat terjadi dengan baik.
Tahap 3, merupakan tahap implementasi perubahan
dimana terjadi proses pencairan, perubahan dan pembekuan yang diharapkan. Apabila suatu perubahan sedang terjadi
kemungkinan timbul masalah. Untuk itu perlu dilakukan monitoring perubahan.
Tahap 4, adalah tahap evaluasi dan umpan balik. Untuk melakukan evaluaasi diperlukan data,
oleh karena itu dalam tahap ini dilakukan pengumpulan datadan evaluasi
data tersebut. Hasil evaluasi
ini dapat di umpan balik kepada tahap 1 sehingga memberi dampak pada perubahan
yang diinginkan berikutnya.
Suatu
perubahan melibatkan perasaan, aksi, perilaku, sikap, nilai-nilai dari orang
yang terlibat dan tipe gaya manajemen yang dibutuhkan. Jika
perubahan melibatkan sebagian besar terhadap perilaku dan sikap mereka, maka
akan lebih sulit untuk merubahnya dan membutuhkan waktu yang lama. Jika
pimpinan manajemen perubahan mengetahui emosi normal yang dicapai, ini akan lebih
mudah untuk memahami dan menghandel emosi
secara benar.
BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Manajemen perubahan
merupakan upaya yang dilakukan untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan
karena terjadinya perubahan dalam suatu organisasi tertentu baik dari dalam
atau luar organisasi.
2. terdapat 3 rinsip
yang harus diperhatikan yaitu 3C
Clarity (kejelasan)
Communication
(komuikasi)
Consistency
(konsisten)
- Tahap-tahap manajemen perubahan ada empat, yaitu:
-
Tahap 1, tahap identifikasi
perubahan
-
Tahap 2, tahap perencanaan perubahan
-
Tahap 3, tahap implementasi perubahan
-
Tahap 4, tahap
evaluasi dan umpan balik
DAFTAR
PUSTAKA
-
Tim dosen administrasi pendidikan UPL,
2010. Manajemen pendidikan , alfabeta. Bandung. Cet. 3
-
Danim, sudarwan, menjadi komunitas
pembelajaran (kepemimpinan transformasional dalam komunitas organisasi pembelajaran)
Jakarta, 2005 PT. BUMI AKSARA
-
Hidayanto.
Wordpress.com/2008/01/31/3c-dalam-manajeman-perubahan-tembolok-mirip
-
http:/makalah-ibnu.blogspot.com/2010/01/fungsi-dan-prinsip-manajemen-pendidikan.html.
MENGKAJI SISTEM KURIKULUM
Bab
I
Pembukaan
Indonesia merupakan Negara yang mengkultuskan
adanya system demokrasi dan kebebasan dalam memilih pendidikan yang layak baik
secara klausal maupun universal .
Dalam system kependidikan tentunya seorang
pendidik tidak akan pernah lepas dari yang namanya kurikulum dan evalusi
pembelajaran yang di sampaikannya , melihat dari kondisi seperti itu kami akan
mencoba membahas apa itu kurikulum dan evaluasi dan bagaima perkembagannya
,khususnya di indonesia .
Di makalah yang singkat ini kami beri judul mengkaji
system kurikulum dan evaluasi pendidikan di indonesia . smoga sajian
yng sedikit ini mampumenjawab problema yang di butuhkna saat ini . trimakasih
Rumusan Masalah
- Apa itu kurikulum dan evaluasi pendidikan ?
- Bagaimana System kurikulum di indoesia di terapkan?
- Bagaimana Evaluasi pendidikan di indonesia?
Tujuan
- Agar seorang pendidik lebih mengerti system evaluasi pendidikan di indonesia
- Memberikan sedikit gambaran system evaluasi masal indonesia
- Agar calon pendidik pintar dalam mengevaluasi nantinya
Pembahasan
1.1 kurikulum
kurikulum adalah suatu metode atau alat yang
sangat penting di dunia pendidikan dan sangat menentukan keberhasilan suatu
pendidikan tersebut , karena dalam mencapai keberhasilan suatu produk
pengajaran sangat dibutuhkan yang namanya kurikulum dan bila tidak maka akan
sulit untuk mencapainya
Di indonesia istilah kurikulum boleh dikatakan baru menjadi popular sejak
tahun lima puluhan yang di populerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di
amerika serikat.sebelumnya yang lazim di gunakan ialah “rencana
pembelajaran” pada hakikatnya kurikulum
sama artinya dengan rencana pembelajaran[7]
.
- Pengertian Kurikulum Secara Etimologis
Webster’s Third New International Dictionary menyebutkan kurikulum berasal dari kata curere dalam bahasa latin Currerre yang berarti :
a. Berlari cepat
b. Tergesa-gesa
c. Menjalani - Currerre di katabendakan menjadi Curriculum yang berarti :
a.
Lari
cepat, pacuan, balapan berkereta, berkuda, berkaki
b. Perjalanan, suatu pengalaman tanda berhenti
c.
Lapangan
perlombaan, gelanggang, jalan
Menurut
satuan pelajaran SPG yang dibuat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang berarti “jarak yang ditempuh”. Semula
dipakai dalam dunia olahraga. Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak
yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk
memperoleh medali atau penghargaan.
4. Pengertian Kurikulum Dari Berbagai Ahli
George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculum is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”.
Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers.[8]
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.[9]
Sehubungan dengan banyaknya definisi tentang kurikulum, dalam implementasi kurikulum kiranya perlu melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbunyi: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. Peningkatan iman dan takwa;
b. Peningkatan akhlak mulia;
c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. Tuntutan dunia kerja;
g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. Agama;
i. Dinamika perkembangan global;
j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.[10]
4. Pengertian Kurikulum Dari Berbagai Ahli
George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculum is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”.
Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers.[8]
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.[9]
Sehubungan dengan banyaknya definisi tentang kurikulum, dalam implementasi kurikulum kiranya perlu melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbunyi: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. Peningkatan iman dan takwa;
b. Peningkatan akhlak mulia;
c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. Tuntutan dunia kerja;
g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. Agama;
i. Dinamika perkembangan global;
j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.[10]
2.1 SEJARAH PENERAPAN SYSTEM KURIKULUM
DI INDONESIA
Memasuki tahun 2004 ini, sejak Indonesia merdeka, kita telah mengenal
berbagai
kurikulum, ada kurikulum 1947, kurikulum tahun 1950-an, kurikulum
tahun
1964, kurikulum tahun 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, dan
kurikulum
1994. Mengapa kurikulum yang satu diganti dengan kurikulum yang
lainnya.
Sampai dengan kurikulum 1984, perubahan kurikulum banyak yang
dipengaruhi
oleh perubahan politik. Kurikulum 1964 disusun untuk meniadakan
MANIPOL-USDEK,
kurikulum 1975 digunakan untuk memasukkan Pendidikan
Moral
Pancasila, dan kurikulum 1984 digunakan untuk memasukkan mata
pelajaran
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Kurikulum 1994, di
samping
meniadakan mata pelajaran PSPB juga diperkenalkannya sistem
kurikulum
SMU yang dimaksudkan untuk menjadikan pendidikan umum benar-
benar
sebagai pendidikan persiapan ke perguruan tinggi.
Dari
serangkaian perubahan kurikulum, yang didasarkan atas hasil penilaian
nasional
pendidikan (national assessment) hanyalah kurikulum 1975 dan
kurikulum
PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (1974–1981).
Selebihnya
merupakan perubahan yang didasarkan atas asumsi teoretik, bukan
atas
dasar temuan-temuan hasil evaluasi yang dilakukan secara sistematik.
Karena
itu kita sukar untuk menjawab pertanyaan
“Seberapa jauh
kurikulum
1975, 1984, 1994 telah, belum atau tidak berhasil mempengaruhi
peningkatan
mutu pendidikan?” Sesungguhnya pada tahun 1981 Balitbang
Depdikbud
telah selesai (dimulai tahun 1978) melakukan studi evaluasi kurikulum
secara
nasional yang komprehensif dengan datanya terkumpul dalam 6 (enam)
disket
komputer . Tetapi penggantian kurikulum 1975 menjadi kurikulum 1984
sama
sekali tidak didasarkan atas hasil evaluasi tersebut. Bahkan data yang
terkumpul
dari hasil penelitian evaluatif yang berlangsung dari tahun 1978
sampai
tahun 1980-pun tidak sempat diolah lebih lanjut. Memang tradisi
penelitian
dan pengembangan yang dirintis oleh almarhum Menteri Mashuri
dan
diperkuat oleh Prof . Dr . Soemantri Brodjonegoro nampaknya berhenti sejak
Menteri
Nugroho Notosusanto. Dalam konteks praktek perubahan kurikulum
yang
demikian, tulisan ini tidak berpretensi berangkat dari hasil evaluasi ilmiah
melainkan
berangkat dari premise teoretik. Atas dasar pertimbangan di atas,
tulisan
ini akan mencoba membahas : (1) makna kurikulum sebagai unsur
yang
strategis dalam pendidikan sekolah; (2) tujuan dan materi kurikulum91 Jurnal
Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004
Kurikulum,
Sistem Evaluasi, dan Tenaga Kependidikan sebagai Unsur Strategis
secara nasional yang komprehensif dengan
datanya terkumpul dalam 6 (enam)
disket komputer . Tetapi penggantian kurikulum
1975 menjadi kurikulum 1984
sama sekali tidak didasarkan atas hasil
evaluasi tersebut. Bahkan data yang
terkumpul dari hasil penelitian evaluatif yang
berlangsung dari tahun 1978
sampai tahun 1980-pun tidak sempat diolah
lebih lanjut. Memang tradisi
dan diperkuat oleh Prof . Dr . Soemantri
Brodjonegoro nampaknya berhenti sejak
Menteri Nugroho Notosusanto. Dalam konteks
praktek perubahan kurikulum
yang demikian, tulisan ini tidak berpretensi
berangkat dari hasil evaluasi ilmiah
melainkan berangkat dari premise teoretik.
Atas dasar pertimbangan di atas,
tulisan ini akan mencoba membahas : (1) makna
kurikulum sebagai unsur
yang strategis dalam pendidikan sekolah; (2)
tujuan dan materi kurikulum91 Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III /
Desember 2004
Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga
Kependidikan sebagai Unsur Strategis
yang bermakna bagi kedudukan kurikulum yang
strategis; (3) pendekatan dan
proses pembelajaran yang relevan; (4) evaluasi
sebagai media pendidikan
dan instrumen umpan balik; dan (5) peranan
guru dan implikasinya terhadap
profesionalisasi tenaga kependidikan.
Makna Kurikulum sebagai Unsur yang Strategis
dalam
Pendidikan Sekolah
Sekolah adalah lembaga sosial yang
keberadaannya sebagai bagian dari
sistem sosial negara bangsa sangat strategis
sejak industrialisasi dan gerakan
negara kebangsaan pada abad ke-19, yang
melahirkan negara-negara
kebangsaan seperti Amerika Serikat, Britania
Raya, Jerman, Perancis, Italia,
maupun Jepang. Para pendiri Republik nampaknya
terilhami oleh perkembangan
negara-negara kebangsaan tersebut yang, dalam
sejarahnya merupakan proses
menjadi satunya kerajaan-kerajaan kecil dari
masing-masing negara tersebut,
mengamanatkan perlunya mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan memajukan
kebudayaan nasional melalui diselenggarakannya
satu sistem pengajaran
nasional (sekolah). Para pendiri Republik
sadar akan adanya jurang antara
kondisi yang dicita-citakan yaitu masyarakat
negara kebangsaan yang moderen
dan demokratis yang berdasarkan Pancasila
dengan kondisi perkembangan
masyarakat Indonesia pada saat proklamasi.
Karena itu harapan terbesar dari
suatu masyarakat yang melakukan transformasi
budaya adalah menjadikan
sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai
kemampuan, nilai, dan sikap
dari warga masyarakat moderen. Dalam mengemban
peranan sekolah sebagai
pusat pembudayaan inilah kedudukan kurikulum
sangatlah strategis. Karena
proses pembudayaan berbagai kemampuan nilai,
dan sikap itu hanya dapat
berlangsung melalui proses pembelajaran yang
bermakna sebagai proses
pembudayaan. Proses pembelajaran yang demikian
hanya akan terjadi secara
efisien, dan efektif melalui suatu sistem
kurikulum yang dirancang secara
sistematik sejak penentuan tujuan yang harus
dicapai, materi yang
harus dipelajari, proses pembelajaran yang
harus diterapkan, dan
sistem evaluasi yang harus dikembangkan dan
dilaksanakan.
Kalau kita cermati, tujuan pendidikan yang
dirumuskan dalam Undang-
Undang Pendidikan Nasional, baik UU No. 4
Tahun 1950, jo UU No. 12 Tahun
1954, yang mencitakan manusia terdidik
Indonesia sebagai “manusia susila
yang cakap dan demokratis serta bertanggung
jawab” , atau UU No. 2 Tahun
1989 yang mencitakan wujud manusia Indonesia
terdidik sebagai “manusia
yang beriman dan bertaqwa, sehat jasmani dan
rohani, memiliki pengetahuan
dan ketrampilan, berkepribadian yang mantap
dan mandiri serta mempunyai
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan” , dan yang terakhir UU
No. 20 Tahun 2003 yang mencitakan “manusia
yang beriman, bertaqwa dan92 Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III /
Desember 2004
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Pendahuluan
Latar
Belakang
Sekolah
adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan
output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan,
bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang
yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai
tujuan instruksional.
Desain
organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang
terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan
oranisasi.
MBS
terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah
(school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement),
dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang
bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah
tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda.
Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan
dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya
dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan
otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan
adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat
Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Batasan masalah :
1. Apa itu Manajemen Sekolah
2. Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
3. Apa manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
4. Apa Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
5. Apa Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
6. Apa karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
7. Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan
1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan . Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Batasan masalah :
1. Apa itu Manajemen Sekolah
2. Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
3. Apa manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
4. Apa Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
5. Apa Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
6. Apa karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
7. Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan
1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan . Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
2.
Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di
Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah.
Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat
untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama
sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara
mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya
diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan
sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa
saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah
dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran
birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian.
Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah
menyusut lebih dari separuhnya.
Kita
khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan
sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan
dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS
adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan
melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung
jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab
itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat,
masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya
terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen
berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana
lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau
seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah
yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis
selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di
tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan
lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan
Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC
(Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang
mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu
dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian
khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse)
manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan,
tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi
akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di
masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah
3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah
3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS
MBS
dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama
ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk
meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan
penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada
dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan
keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS
memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru,
murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan
MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik
dari penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
4.
Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat
(Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?
(Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?
Penerapan
MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan
banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika
para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri
kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang
haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.
MBS
menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih
banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah.
Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah
pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar
kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian,
standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan
keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah
(dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun,
pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi
setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif.
Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung
kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika
sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang
ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi.
Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah
berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam
rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar
akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan,
dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan
pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih
menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan
standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan
sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi
kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya),
sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku
pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Di
Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen
sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah,
wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat
lainnya, staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini melakukan analisis
kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur
yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.
Di
beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada
tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat
kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan
peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari
sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam
hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam
jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah
menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk
pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan
transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke
setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah
dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap
sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka
untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan
variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu
disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah,
sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke
program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya
perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
5.
Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu
diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi,
manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini
ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat,
khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan,
kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan
kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
6.
Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila
pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat
memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua
unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan
tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang
berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung
jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana
dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
7.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah
satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan
bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu
menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di
sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama
pula.
Hasil
MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran
kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes
terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima
langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade
County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di
sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun
peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan
MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak
langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di
Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan
menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru
memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf
tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah
menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya
pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang
penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah
atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun,
survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular
di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei
menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal
meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden
yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi
terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan
& Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003)
telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan keputusan setempat yang sejak awal
tertuju pada belajar dan mengajar dan dukungan terhadap belajar dan mengajar,
terutama dalam membangun kapasitas staf untuk mendesain dan menyampaikan
kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dengan memperhatikan
prioritas kebutuhan setempat, termasuk kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan
memonitori keluaran. Juga terlihat pentingnya membangun kapasitas masyarakat
untuk mendukung upaya sekolah. Dengan kata lain, penerapakn manajemen berbasis
sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang
secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah
berhasil.
Di
tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan
TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara
sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif
lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan
lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan
membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal
di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam
membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri. (self-managing
school). Membangun modal intelektual merupakan contoh pengembangan kapasitas,
yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal sosial merujuk pada membangun
hubungan yang saling mendukung di antara sekolah, rumah, masyarakat, lembaga
keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga lain di sektor publik dan
swasta.
Pengalaman
menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu
betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan
desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini
merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas,
tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu
merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas
agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua
tingkat.
Satu
implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan
koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan
sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti
pekerjaan pemimpin senior di sekolah
Dalam
praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS
dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan
sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala
sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana
administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua
mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar
ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka
seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang
baru.
Ada
juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran.
Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan
perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan
murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi
bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis
administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran
kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun,
kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit
bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak
skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu.
Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian
besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya.
Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi
pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh
seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
8.
Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar ?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan
MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru
yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus
ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan
prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan
hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah
yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk
berhasil.
Pertanyaannya,
sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di
Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan
yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk
melakukan perubahan.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil
penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata
sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang
kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian
yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal
tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata
negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan
yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct
cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is
minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS
dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat
dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian
di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal
yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa
“enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved
students’ language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada
(1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai
dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
9.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Kesimpulan.
Satu
cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara
menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita
membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali
dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara
interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda,
bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat
relatifnya.
Pertanyaan
mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang
tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara
sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu
bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar
jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon, 2004).
Secara
sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang
akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan
kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam
pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah,
penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.
SERTIFIKASI
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru mempunyai kedudukan sebagai
tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Guru profesional harus memiliki kualitas akademik
minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi
(pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki serifikat pendidik,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Lebih lanjut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen dan peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kualifikasi akademik guru adalah S-1/D-IV yang
dibuktikan dengan ijasah sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan
formal di tempat penugasan. Kompetensi guru mencakup penguasan kompetensi
pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang
diperoleh melalui sertifikasi.[11]
2. Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud dengan sertifikasi?
- Apa yang dimaksud profesionalitas guru itu?
- Bagaimana hubungan antara sertifikasi dan peningkatan profesionalitas guru?
3. Tujuan
- Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sertifikasi.
- Untuk mengetahui apa yang dimaksud profesionalitas guru.
- Untuk mengeahui hubungan antara sertifikasi dan peningkatan profesionalitas guru.
PEMBAHASAN
SERIFIKASI DAN PENINGKATAN PROFESIONALIAS GURU
A. Sertifikasi
1. Pengerian Sertifikasi
Sertifikat bersal dari bahasa Inggris certificate yang artinya suatu
pernyataan tentang kulifikasi seseorang atau barang. Dalam kaitan ini
sertifikat pendidik adalah suatu pernyataan yang menunjukan seseorang
benar-benar memiliki kualifikasi seorang pendidik, atau dalam pengertian
penulis kualifikasi guru profesional. Dikaitkan dengan ketentuan tentang Pasal
8 UU No.14 Tahun 2005 karakteristik guru profesional dinyatakan:”Guru wajib
memiliki kulifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani
dan rohani,serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”[12]
Sertifikasi pendidik pada hakikatnya adalah upaya
untuk menjamin bahwa setiap guru yang bertugas sebagai guru benar-benar dapat
dijamin kualifikasi dan kemampuannya. Baik kemampuan pedagogik, kepribadian,
kemampuan sosial, maupun kemampuan profesionalnya. Dengan kata lain guru yang
memegang sertifikat pendidik adalah guru yang kemampuannya dapat dipertanggung
jawabkan baik secara akademik, profesional, maupun pedagogik.
2. Lembaga yang berwenang memberi sertifikat
Pada pasal 11 ayat (2) dari UU No.14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen tertulis: ”Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi.”
Membaca ketentuan
tersebut jelaslah bahwa Universitas yang memiliki LPTK yang berwenang menilai
atau menguji guru untuk memperoleh sertifikat pendidik. Jelaslah bahwa hanya
lembaga pendidikan yang memiliki tenaga akademik dan profesional, yang wilayah
studi dan kajiannya dibidang kependidikan yang berwenang untuk melakukan
sertifikasi.
Setiap LPTK yang melakukan proses sertifikasi
perlu memilih :
1)
Sekolah-sekolah yang dijadikan tempat calon guru
profesional berpraktik sebagai guru
2)
Memilih guru-guru profesional sebagai tenaga pengajar
luar biasa LPTK sebagai satu tim yang terus menerus melakukan pengamatan dan
penilaian terhadap kinerja calon guru profesional.
3)
Membentuk tim dosen multidisiplin ( ahli teori pendidikan, teori belajar, ahli
kurikulum, teknologi pendidikan, bidang studi yang relevan) yang terus
memonitoring dan bekerja sama dengan para guru dosen luar biasa di sekolah.[13]
B. Profesionalitas Guru
1. Pengertian
Profesionalitas
Secara etimologi profesi
dari kata profession yang berarti
pekerjaan. Professional artinya orang
yang ahli. Profesionalisme artinya
sifat profesional. Dalam kamus bahasa Indonesia profesi adalah bidang pekerjaan
yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan,kejuruan dan
sebagainya)tertentu.
Profesional adalah
(1)bersangkutan dengan profesi,(2)memerlukan kepandaian khusus untuk
melaksanakannya dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.
Profesionalitas adalah suatu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu
profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka
miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya.
Profesional menurrut
undang-undang no14 tahun 2005 bab 1 pasal1 ayat 4 digambarkan sebagai pekerjaan
atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang sumber penghasilan kehidupanya
memerlukan keahlian,kemahiran dan kecakapan yang memenuhi standart mutu dan
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.Dari berbagai pengertian
diatas tersirat bahwa dalam profesi digunakan tehnik dan prosedur intelektual
yang harus dipelajari secara sengaja,sehingga dapat diterapkan untuk kemaslahatan
orang lain. Dalam kaitan ini seorang pekerja profesional dapat dibedakan dari
seorang pekerja amatir walaupun sama-sama menguasai sejumlah tehinik dan
prosedur kerja tertentu,seorang pekerja profesional memilki filosofi untuk
menyikapi dan melaksnakan pekerjaannya.
2. Syarat-syarat
Profesi
Tidak semua pekerjaan disebut profesi,hanya pekerjaan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu
yang disebut profesi.Menurut Syarifudin Nurdin ada delapan kriteria yang harus
dipenuhi oleh suatu pekerjaan agar disebut sebagai profesi yaitu:
- Panggilan hidup yang sepenuh waktu
- Pengetahuan dan kecakapan atau keahlian
- kebakuan yang universal
- Pengabdian
- Kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif
- Otonomi
- Kode etik
- Klien
- Berperilku pamong
- Bertanggung jawab dan sebagainya.[14]
C. Hubungan Sertifikasi dan Peningkatan Profesionalitas
Guru
Dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional, Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional,
karena itu guru dipersyaratkan memiliki kulifikasi akademik minimal sarjana
atau diploma IV (SI/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen
pembelajaran.
Program sertifikasi
guru merupakan program pemberian
sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tersebut,
karena itu ,buku pedoman sertifikasi guru dalam jabatan melalui penilaian
poropolio (Dirjen Dikti Depdiknas,2008) dinyatakan secara tersurat bahwa
program sertifikasi guru dalam jabatan ini bertujuan: (1)menentukan kelayakan
guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendiddik profesional;(2)meningkatkan
profesi dan hasil pembelajara; (3)meningkatkan kesejahteraan
guru;(4)meningkatkan martabat guru dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional
yang bermutu.
Seorang guru yang mengikuti sertifikasi melalui jalur
portopolio dan jalur pendidikan dalam bidang studi tertentu akan dinilai dari
berbagai sudut: latar belakang pendidikan (ijzah), masa kerja, prestasi
akademik, aktifitas lain yang berkaitan dengan proses belajar mengajar ataupun
penilaian kinerja personal dalam PLPG. Dokumen portopolio idealnya mencerminkan
sosok personal kita sebagai guru yang :
1.
Memilki ijazah yang sesuai dengan jenjang /bidang studi
yang diajarkan.
2.
Memilki masa kerja (jam terbang) yang cukup memadai
sebagai guru.
3.
Memilki profesi akademik yang cukup lumayan sesuai dengan
baidang yang digeluti.
4.
Memilki aktifitas lain dalan bidang pendidikan atau
kemasyarakatan secara proporsional.
Keempat hal
diatas mencerminkan indikator guru sebagai pekerja yang profesional, yaitu
bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan, keahlian/keterampilan/ kejuruan
tertentu memerlukan kepandaian khusus untuk melaksanakannya, mengharuskan
adanya pembayaran untuk melakukannya.[15]
PENUTUP
Kesimpulan
Sertifikasi pendidik pada
hakikatnya adalah upaya untuk menjamin bahwa setiap guru yang bertugas sebagai
guru benar-benar dapat dijamin kualifikasi dan kemampuannya. Baik kemampuan
pedagogik, kepribadian, kemampuan sosial, maupun kemampuan profesionalnya.
Profesionalitas adalah
suatu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap
profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk
dapat melakukan tugas-tugasnya.
Guru adalah pendidik
profesional, karena itu guru dipersyaratkan memiliki kulifikasi akademik
minimal sarjana atau diploma IV (SI/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi
sebagai agen pembelajaran. Program sertifikasi guru merupakan program pemberian sertifikat
pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hamim Nur,Bahan
Ajar PLPG Sertifikasi Guru/Pengawas dalam Jabatan,Surabaya:
LPTK Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Ampel, 2011
Http;//mukhlis
hamid. Wordpress.Com/2009/07/31/Sertifikasi-dan-Peningkatan-
Profesionalisme-Guru/
Soedijarto, Landasan
dan Arahan Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: Kompas Media,
2008
Diklat
Profesi Guru, Bahan Ajar PLPG Sertifikasi
Guru/Pengawas dalam Jabatan,
Surabaya: LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel, 2009
SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN PROFESIONALIAS GURU
Sertifikasi pendidik pada
hakikatnya adalah upaya untuk menjamin bahwa setiap guru yang bertugas sebagai
guru benar-benar dapat dijamin kualifikasi dan kemampuannya. Baik kemampuan
pedagogik, kepribadian, kemampuan sosial, maupun kemampuan profesionalnya.
Dengan kata lain guru yang memegang sertifikat pendidik adalah guru yang
kemampuannya dapat dipertanggung jawabkan baik secara akademik, profesional,
maupun pedagogik. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
Setiap LPTK yang
melakukan proses sertifikasi perlu memilih :
4)
Sekolah-sekolah yang dijadikan tempat calon guru
profesional berpraktik sebagai guru
5)
Memilih guru-guru profesional sebagai tenaga pengajar
luar biasa LPTK sebagai satu tim yang terus menerus melakukan pengamatan dan
penilaian terhadap kinerja calon guru profesional.
6)
Membentuk tim dosen multidisiplin ( ahli teori pendidikan, teori belajar, ahli
kurikulum, teknologi pendidikan, bidang studi yang relevan) yang terus
memonitoring dan bekerja sama dengan para guru dosen luar biasa di sekolah.
Profesionalitas adalah
suatu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap
profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk
dapat melakukan tugas-tugasnya
Guru adalah
pendidik profesional, karena itu guru dipersyaratkan memiliki kulifikasi
akademik minimal sarjana atau diploma IV (SI/D-IV) yang relevan dan menguasai
kompetensi sebagai agen pembelajaran.Program sertifikasi guru merupakan program pemberian sertifikat
pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tersebut.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Multikulturalisme
secara sederhana dapat dipahami sebgai pengakuan bahwa sebuah Negara atau masyarakat
adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu Negara pun yang
mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Dengan demikian,
multikulturalisme merupakan sunnatullah yang tidak dapat ditolak bagi setiap
Negara di dunia ini.
Pandangan
dunia muktikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan
fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multikulturalisme dapat
dipandang sebagai landasan budaya tidak hanya bagi kewargaan dan
kewarganegaraan, tapi juga bagi pendidikan. [16]
Pendidikan , khususnya pendidikan islam, dengan paradigma pluralis –
multicultural, menjadi kebutuhan yang mendesak untuk segera dirumuskan dan di
desain dalam proses pembelajaran. Karena memiliki kontribusi dan nilai
signifikan untuk membangun pemahaman dan juga kesadaran terhadap substansi dan
nilai – nilai pluralitas dan multikiulturalitas.[17]
Istilah
“pendidikan multikultural” dapat digunakan pada tingkat deskriptif dan normative, yang menggambarkan isu – isu
dan masalah –masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural.
Yang juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan –
kebijakan dan strategi pendidikan bagi peserta didik di dalam masyarakat
multicultural.[18]
B. RUMUSAN MASALAH
- Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Multikultural ?
- Apa saja karakteristik dalm pendidikan agama berbasis multikultural ?
- Bagaimana urgensi pendidikan multikultural di Indonesia ?
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
- Memahami tentang pengertian pendidikan multicultural
- Mengetahui karakteristik peendidikan agama berbasis multikultural
- Mengetahui urgensi pendidikan multikultural di Indonesia
MULTIKULTURAL
A.PENGERTIAN
Secara etimologi, pendidikan
multukultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan multikultural.
Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata tata laku seseorang atau
kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan
cara mendidik. Sedangkan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan.
Sedangkan secara terminology, berarti proses pengembangan seluruh potensi
manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi
keragaman budaya, etnis, suku dan agama.[19]
Masyarakat yang harus mengapresiasi
pendidikan multicultural adalah masyarakat yang secara objektif memiliki anggota
yang heterogen dan pluralis. Paling tidak, anggotanya bias dilihat dari
eksistensi keragaman suku, ras, agama, dan budaya. Dalam pendidikan
Multikultural, selalu muncul dua kata kunci pluralitas dan kultural. Sebab,
pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala perbedaan dan keragaman, apapun
bentuk perbedaan keragamannya. Sedangkan
kultur itu sendiri tidak bisa terlepas dari empat tema terpenting:
aliran(agama), ras(etnis), suku, dan budaya.
Pendidikan Multikultural merupakan
respon terhadap perkembangan populasi sekolah, sebagaimana tuntunan persamaan
hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan Multikultural itu mencakup
semua siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok seperti gender, etnik, ras,
budaya, strata sosial dan agama.
Membangun pendidikan yang
berparadigma pluralis. Multikultural merupakan kebutuhan yang tidak bisa
ditunda lagi. Dengan paradigma semacam ini, pendidikan diharapkan akan
melahirkan anak didik yang memiliki cakrawala pandang luas, menghargai
perbedaan, penuh toleransi, dan penghargaan terhadap segala bentuk perbedaan.
Melihat uraian diatas, dapat diambil
beberapa pemahan tentang pendidikan multikultural, antara lain :
- Merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu, yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada.
- Mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi : potensi intelektual, sosial’ moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya.
- Pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas.
- Pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama.
Secara garis besar, paradigma
pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan
pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif dikalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa
dikondisikan kearah tumbuhnya pandangan komprehensif
PENDIDIKAN DAN GENDER
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Isu gender saat masih banyak
dibicarakan, walau pengertiam jender
sendiri sebagian orang masih belum memahami secara benar. Jender adalah suatu
istilah yang masih baru. Menurut Shortwalter , wacana gender mulai ramai
dibicarakan pada awal tahun 1077, ketika
sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal, tetapi menggantikannya
dengan isu Jender.
Sesetaraan Gender sebenarnya telah ada dalam Islam, sebagai agama yang
terakhir dan sempurna hal tersebut sudah banyak dijelskan didalam Al Quran dan
dipraktekan oleh Rosul Muhammad SAW. Sebagai orang yang beriman hendaknya kita
tidak menelan begitu saja isu kesetaraan Jender tatapi memfilter diri dan tetap
berpedoman bahwa ajaran Islam yang harus kita akui kebenarannya.
Isu Jender tidak hanya
berkutat masalah peran sosial perempuan saja dalam kehidupan, tapi lebih
dari itu ada masalah ekonomi, politik, juga di masalah pendidikan. Seorang
perempuan mempunyai hak yang sama dalam
hal menunutut ilmu pengetahuan sebagaimana kaum lelaki.
Dalam Agama Islam tugas manusia
laki-laki dan perempuan adalah sama, tentunya mereka juga punya hak yang sama
pula, hal ini sudah tercantum sepenuhnya dalam dua sumber huku Islam yang Utama
yaitu Al Quran dan Hadis, jikalau ada
perbedaan peran tugas dan tanggungjawab dalam Al Quran dan sunnah itu
disebabkan perbedaan firtah saja. Dan aturan Negara kitajuga sudah memberikan ruang yang sama bagi laki-laki
dan perempuan untuk menerima pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi lagi
dan kebebasan memilih karier yang dikehendaki oleh kaum perempuan
B. Rumusan
Masalah
1. Pengertian
Pendidikan dan Gender
2.
Perspektif Gender dalam dalam Al Quran
3.
Praktek kesetaraan Gender pda zaman Rosul
4.
Gender dalam dunia Pendidikan Indonesia
5. Kunci
bagi berhasilnya perspektif gender dalam kebijakan pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Pendidikan dan Gender
Kata gender
berasal dari bahasa Inggris yangberarti “jenis
KElamin”. Dalam women’s Studies
Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang
berusaha membuat perbedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas, kateristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Kata gender
belum masuk dalam perbendaraan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan,
khusunya di kantor mentri negara peranan urusan wanita dengan istilah jender. Jender diartikan sebagai
interprestasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki
dan perempuan.
Kalau gender
secara umum digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi sosial, budaya, psikologi dan aspek-aspek non biologis
lainnya. Sedangkan sex secar umum
digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
anatomi biologis, hormone, alat reproduksi dan karakter biologis lainnya.
2.
Perspektif Gender
dalam dalam Al Quran
Al Quran memberikan pandangan optimism terhadap
kedudukan dan keberadaan seorang perempuan. Semua ayat dalam Al Quran yang
menceritakan Nabi Adam dan Hawa selalu menekankan kedua belah pihak diposisi
yang sama dengan mengunakan dhomir (kata
ganti) untuk dua orang (dhomir mustana) .saat keduanya memanfaatkan fasilitas surge (QS.
2:35), keduanya sama-sama digoda setan (QS.7:20), keduanya sama-sama memakan
buah khuldi, dan keduanya juga sama-sama harus menerima hukuman dengan diusir
dari surga (QS.7:23). Keduanya juga sama-sama memohon ampun dan diampuni oleh
Allah SWT.
Dalam Al Quran juga menekankan tugas manusia
baik laki-laki dan perempuan adalah sebagai hamba Allah (abdun) dan wakil Allah dimuka bumi (Kholifahtun fil ardh). Dan untuk melaksanakan kedua tugas tersebut
laki-laki dan perempuan mempunya peran sama yang harus saling bantu membantu.
Ukuran kemulian di sisi Allah dalam Al Quran
adalah prestasi dan kualitas bukan berdasarkan jenis kelamin dan suku bangsa.
Bahkan dalam Al Quran, Allah menceritakan seorang dengan kelebihan yang
dimiliki, ada yang punya kemandirian politik seperti ratu bilqis(QS.60:12), ada
yang memiliki kemandirian ekonomi seperti yang pernah dilihat musa ada seorang
wanita yang mengelolah peternakan (QS.28:23), kemandirian dalam menentukan
pilihan hidup (QS. 66:11). Perempuan juga diperbolehkan melakukan oposisi
terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan kebenaran.Bahkan Al Quran
menyerukan perang terhadap suatu kaum yang menindas kaum perempuan.
3.
Praktek kesetaraan
Gender pada zaman Rosul
Jika dilihat dari sejarah perkembangan karier
kenabian, maka kebijakan yang mengarah pada kesetaraan jender sudah dilakukan
pada zaman nabi.Perempuan dan anak-anak dibawah umur semula tidak berhak mendapatkan
harta warisan, karena menganut hukum-hukum jahiliyah kemudian Al Quran
memberikan hak bagi mereka dari harta warisan yang ditingalkan oleh
ahlinya.Semula laki-laki boleh mengawini wanita dengan jumlah tanpa batas,
kemudian dibatasi menjadi empat.Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi
terhadap suatu perkara, namun akhirnya ada hal bagi wanita untuk menjadi saksi.
Tidak ditemukan dalam alquran dan hadis yang
melarang kaum perempuan aktiif didunia politik.Sebaliknya kaum wanita dalam
semua kelas sama-sama punya hak dalam mengembangkan profesinya seperti karier
dalam politik, ekonomi, dan pendidikan.Hal ini menjadi sesuatu yang sangat
langka sebelum Islam.
Bahkan dalam sejarah Rasulallah akan kita temui
perempuan-perempuan yang mempunyai peranan dalam kehidupan sosial diberbagai
bidang, dalam bidang politik dan peperangannnkita akan temukan Fathimah binti
Rasulallah, Aisyah binti Abu Bakar, Atikah binti Yazid, Ummu Salamah binti ya’qub dsb. Dalam bidang
ekonomi maka kita akan kenan Khodijah binti Khuwailib seorang komisaris
perusahaan, Zaynab binti Jahsy sebagai penyamak binatang, Ummi Salim binti
Marham sebagai tukang rias pengantin, As Syufa sebagai sekretaaris dsb.
Dalam
hal pendidikan Rosulallah pernah didatangi sekelompok perempuan yang
meminta SAW untuk memberikan waktu
khusus bagi perempuan untuk belajar langsung kepada Rosalallah. Dan sabda Rosul
sendiri yang terkenal “ Mencari Ilmu
wajib hukumnya bagi mukmin laki-laki dan perempuan”. Maka tidak heran dalam
sejarah Islam diteukan pula perempuan yang ahli dalam ilmu pengetahuan, seperti
: Aisyah istri Nabi, Sayidah Sakinah bin Husyen, Mu’nisat Al Ayubi yang menjadi
guru ImamSyafi’I, Robiah al adawiyah dsb.
4.
Gender dalam dunia
Pendidikan Indonesia
Pemerintah telah memberikan ruang yang sama bagi
setiap warga negara untuk bisa mengenyam bangku pendidikan tidak melihat
laki-laki atau perempuan, ini bisa dilihat beberapa paying hukum yang ada,
seperti :
-
Peraturan Mendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah
-
Permendiknas No. 84 Tahun 2008
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan.
Selain itu, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) juga sudah
menjadikan kesetaraan gender sebagai salah satu ranah yang perlu
dijadikan sebagai acuan operasional penyusunan kurikulum. Ini artinya, dari
sisi legal-formal, Pengarusutamaan Gender (PUG)
bidang Pendidikan tak perlu disangsikan lagi untuk diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas.
Namun, secara jujur harus diakui, implementasi
PUG dalam proses pembelajaran masih terkendala banyak faktor. Selain
kultur masyarakat kita sudah demikian lama dicengkeram oleh kokohnya budayapatriarki yang memandang kaum perempuan sebagai “makhluk
kelas dua”, dukungan anggaran dan fasilitas sekolah yang memberikan ruang gerak yang memadai
terhadap implementasi PUG bidang pendidikan juga belum berlangsung seperti yang
diharapkan. Dalam konteks demikian, sangat beralasan kalau implementasinya
dalam proses pembelajaran di kelas belum bisa berlangsung mulus
dan kondusif.
Selain itu faktor Ekonomi masih juga menjadi
kendala utama bagi keluarga dalam menyekolahkan anak perempuannya hingga ke
jenjang lebih tinggi.Orangtua dari
keluarga miskin menganggap anak-anak perempuan mereka tidak usah melanjutkan
sekolah.Lebih baik anak perempuannya langsung dinikahkan atau didorong bekerja
di sektor publik sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal. Kondisi
demikian menjadikan anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin
menjadi kelompok sosial yang dilanggar hak sosial-ekonomi-budayanya. Mereka
tidak bisa mendapatkan hak memperoleh (menikmati) pendidikan yang berkualitas.
5.
Kunci bagi berhasilnya perspektif gender dalam
kebijakan pendidikan
Hasil penelitian Dra
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si, menyatakan komponen kunci bagi berhasilnya
perspektif gender masuk dalam kebijakan pendidikan adalah :
pertama, kapasitas
SDM yang paham tentang gender, memiliki sensitivitas gender dan memiliki
otoritas terkait dengan pembangunan pendidikan.
“SDM tersebut tidak
bekerja dalam ruang yang vakum, tetapi berinteraksi secara terus menerus dengan
faktor-faktor dari luar dirinya, sehingga memasukkan gender sebagai arus utama
pada kebijakan pendidikan,” katanya.
Kedua, capacity building dan advokasi
pengarusutamaan gender yang dirancang dengan baik, sesuai kebutuhan daerah dan
kemudiaan ditaati.“Apabila desain capacity
building dan advokai dirancang dengan baik, sesuai kebutuhan daerah dan
kemudian ditaati, maka integrasi kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan
pendidikan relatif mudah dilakukan,” paparnya.
Ketiga, Budaya
organisasi yang mengedepankan visi dan misi untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan geneder. Menurutnya, budaya organisasi yang telah responsif akan
menumbuhkan kesadaran untuk memasukkan perspektif gender secara ekplisit pada
dokumen kebijakan daerah yang memiliki dasar hukum yang kuat dengan adanya
peraturan daerah (Perda).
“Dengan landasan
hukum daerah yang kuat bisa menjadi mekanisme pemaksa bagi pelaksanaan
pengarusutamaan gender di daerah, sehingga gender benar-benar dapat menjadi arus
utama pembangunan pendidikan,” kata doktor ke 957 dari UGM ini.
Keempat, jejaring
serta kemitraan antara stakeholder pendidikan merupakan kekuatan utama dalam
membangun aliansi strategis untuk melakukan perubahan kebijakan dari netral dan
bias gender menjadi kebijakan responsif gender.
BAB III
Penutup
Jelas dalam Islam, laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang sama dalam hal politik, ekonomi, pendidikan dsb dan keduanya juga mempunyai kewajiban yang sama terhdap Allah SWT yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai wakil Allah untuk memakmurkan bumi. Untuk melaksanakan kedua tugas tersebut manusia baik laki-laki dan perempuan harus berpendidikan. Pendidikan yang tidak hanya diperuntukkan untuk kaum lelaki saja tapi juga untuk kaum perempuan. Untuk memwujudkan hal ini harus ada peran aktif semua pihak, baik orang tua, guru, pihak sekolah, dan pemerintah.
Dengan pendidikan laki-laki dan perempuan bisa bekerjasama dan tolong-menolong dalam kebaikan sebagaimana firman Allah dalam QS.At-Taubah : 71: ”Dan orang-orang beriman,
laki-laki dan perempuan, sebagaimana mereka (adalah) menjadi penolong sebagian
yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah
dan Rasul-Nya.Mereka itu akan diberi rahmat Alaoh, sesungguhnya Allah maha
perkasa lagi maha bijaksana”.
Daftar Pustaka
1. Nasarudin Umar,
Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 1, 1998
[1]PENDIDIKAN
ISLAM MASA ORDE LAMA « Mangun Budiyanto.htm
[2]Materi
Kuliah PAI-K STAIN Jember angkatan 2009_ ILMU PENDIDIKAN ISLAM _ Pendidikan
Islam Masa OrdeLama.html
[3]Hasbullah, Dasar – dasar Ilmu Pendidikan,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm 131
[4]
http://www.anneahira.com/kebijakan-pemerintah-orde-baru.htm
[5]Ali muhdi amnur, Konfigurasi politik
Pendidikan Nasional,Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007, hlm 22
[6]Http:// Ditpertais.warta.swara.17-01.asp.html
[7]
Prof.Dr.S.Nasution,M.A. asas asas kurikulum . hal 2
[8]Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta
Siregar, Eveline dan Nara, Hartini. 2010. Buku Ajar Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : UNJ
Siregar, Eveline dan Nara, Hartini. 2010. Buku Ajar Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : UNJ
[9]
Sisdiknas No 20 tahun 2003
[10]
Ibid sisdiknas
[11]Diklat Profesi Guru,Bahan Ajar PLPG Sertifikasi Guru/Pengawas
dalam Jabatan, Surabaya: LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2009,
hlm. 04
[12] Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: Kompas Media,
2008, hlm. 176
[13]Ibid, hlm. 184
[14] Nur Hamim, Bahan Ajar PLPG Sertifikasi Guru/Pengawas dalam Jabatan, Surabaya:
LPTK Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2011, hlm. 02
[15]
Http;//mukhlis hamid. Wordpress.Com/2009/07/31/Sertifikasi-dan-Peningkatan-Profesionalisme-Guru/(Senin,19-12-2011,
14.15 Wib)
[16]
Azumardi Azra untuk Zakiyatun Baidhawi, Pendidikan Agama Berrwawasan
Multikultural , prakata
[17]
Ngainun Naim & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi,
hal. 8-9
[18]
Zakiyatun Baidhawy, Op.,Cit,. prakata
[19]Husniyatus
Salamah Zainiyati, ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman, hal. 136
aquwh bituh bgt makalah nie wat refrensi kulaih aquwh,,,
BalasHapussyukkron katsir,,,,,,,,,,
mang kuliah dmn??
BalasHapus