Rabu, 11 Januari 2012

makalah fiqh jadi























KUMPULAN MAKALAH
FIQIH MUAMALAH
DOSEN PENGAMPU : ZAENU AUHDI,L.c.,  M.H.I







OLEH
SEMESTER  V





PROGAM SARJANA (S1), JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL URWATUL WUTSQO
JOMBANG 2011/ 2012

JI’ALAH, MUZAROAH, IHYAUL MAWAT
A.      JI’ALAH
1.       PENGERTIAN JI’ALAH  

Menurut bahasa ji’alah berarti upah atas sesuatu prestasi. Dalam istilah lain, ji’alah selalu pula diartikan dengan ‘’’sanyembara’’[1]. Ji’alah itu adalah akad yang diperbolehkan.Yaitu seseorang yang menetapkan uang Pengganti [sebagai upah] yang diumukan,bagi orang yang berhasil mengembalikan barangnya yang hilang [2] dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya,seseorang kehilang kuda,dia berkata ‘’’Barang siapa yang mendapatkan Kuda ku dan dia kembalikan kepada ku, aku bayar sekian.[3]     

2.       RUKUN JI’ALAH ;

1.       Lafadz kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja juga tidak   ditentukan waktunya.
2.       Orang yang menjanjikan upahnya yaitu yang menjanjikan boleh orang yang kehilangan itu sendiri  atau orang lain.
3.       Pekerjaan yaitu mencari barang yang hilang
4.       Upah disyaratkan memberi upah dengan barang yang tertentu.
Misalkan,orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum ,’’siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri uang sekian.”kemudian dua orang bekerja mencari barang itu barang sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama,maka yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.[4]

3.       DASAR HUKUM JI’ALAH

Ji’alah termasuk salah satu jenis akad yang hukumnya jaiz (diperbolehkan) oleh sebagian ulama, tetapi sebagai lain ada yang tidak mengizinkan akad jenis. Perbedaan ini dapat diterima, karena akad dalam lapangan ji’alah tidak sama dengan pelaksanaan akan ijarah yang murni merupakan upah tanpa ada unsur untung-untungan.
Para ulama yang berpendirian bahwa transaksi ji’alah itu diperbolehkan karena secara historis Rosulullah memperbolehkan menerima upah atas pengobatan kepada seseorang dengan mempergunakan ayat-ayat alqur’an , seperti dengan surat al fatihah. Namun yang perlu dicatat disini adalah bahwa kebolehan itu berlaku bila diperlukan, dalam arti  bahwa kebolehannya itu bukanlah mutlak sebagaimana dalam lapangan ijarah. Hal ini juga berdasarkan firman allah dalam surat yusuf ayat 72 :
قَالُوانَفْقِدُصُوَاعَالْمَلِكِوَلِمَنْجَاءَبِهِحِمْلُبَعِيرٍوَأَنَابِهِزَعِيمٌ (٧٢). 
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya"[5].
Perkara ji’alah ini memeng sudah dimaklumi lama. Dan tersebut dalamShahih Bukhori dan muslim sabda Nabi SAW yang menceritakan tentang seorang Baduwi yang disengaja kala yang dijampi oleh seorang sahabat dengan bayaran upah sekumpulan kambing, dan ada yang lain lagi. Begitu pula keperluan umum menghendaki adanya hukum ini, bahkan keperluan umum masyarakat juga ada perlu adanya hukum ini.[6]
Kebolehan ji’alah sebagai suatu bentuk transaksi karena agama memang tidak melarang juga tidak menganjurkannya. Namun, yang perlu mendapat perhatian adalah pelaksanaan ji’alah yang harus bebas dari unsur penipuan, penganiayaan dan saling merugikan. Dimana penekanan pemberian imbalan haruslah didasarkan atas prestasi dan usaha yang jauh dari unsur-unsur judi.[7]
Masing-masing pihak boleh menghentikan perjanjian (membatalkannya) sebelum bekerja. Kalau yang membatalkannya orang yang bekerja,dia tidak medapatkan upah, sekalipun sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkan adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.[8]

B.      MUZARO’AH
1.     PENGERTIAN MUZARO’AH

Menurut bahasa, muzaroah memiliki dua arti, yang pertama berarti Harh al zur’ah(melemparkan tanaman) maksudnya adalah modal (al hadzar) yang bermakna majaz dan makna yang kedua adalah makna hakiki[9]
Muzaro’ah adalah penyerahan tanah oleh pemiliknya kepada si pekerja untuk di tanami dengan syarat si pekerja akan mendapatkan bagian tertentu dari penghasilannya. Sedangkan bibitnya dari pemilik tanah, jika bibit tanaman dari si pekerja , maka dinamakan mukhabarah.[10]
Muzaro’ah dan Mukhabarah  memiliki makna yang berbeda, menurut al-rafi’i dan al-nawawi. Sedangkan menurut al-qadhi abu thayid, muzaro’ah  dan mukhabaroh merupakan satu pengertian. Imam rofi’i dan imam Nawawi berkata ; bahwa dalam muzaro’ah benih-benih tanaman dikeluarkan oleh tuan punya tanah . sedangkan mukhabaroh benih-benih tanaman ditanggung oleh pengusaha (yang menyewa tanah).[11]

2.     RUKUN MUZARO’AH

Rukun Muzaro’ah ,Menurut hanafiyah ada empat;
a)         Tanah
b)         perbuatan pekerja
c)          Modal
d)         alat-alat untuk menanam[12]

3.       DASAR HUKUM MUZARO’AH

Sebagian ulama melarang paroan tanah semacam itu. Mereka beralasan pada beberapa hadits yang melarang paroan tersebut. Sebagaimana dalam hadits Bukhori dan Muslim ;



“Rofi’ bin khadij berkata, Diantara Ansor yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami,maka kami persewakan,sebagian  tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang mengerjakan nya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik,dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu ,rosululloh saw melarang paroan dengan cara demikian “(Riwayat Bukhori)
Ulama lain berpendapat tidak ada halangan .seperti Nawawi,Ibnu Munzir dan khattabi yang mengambil alasan hadits ibnu Umar ;



Dari Ibnu Umar,”sesungguhnya Nabi SAW telah memberikan kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan,baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan(palawija)” (Riwayat muslim)
Maksud daripada dilarangnya paroan menurut hadist tersebut adalah apabila penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti kepunyaan salah satu diantara mereka. Karena memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur, persentase bagian masing – masing pun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang nabi SAW, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insyaf[13].
Diriwayatkan oleh bukhari dan muslim dan ibnu abbas r.a



“sesungguhnya nabi SAW menyatakan, tidak  mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi yang lain, dengan katanya “barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditanam saja tanah itu".
                                Menurut imam syafi’i haram hukumnya muzara’ah. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh muslim dari tsabit ibn al – dhahak :




 “bahwa rasulullah SAW telah melarang bermuzara’ah dan memerintahkan sewa menyewa saja dan rasulullah bersabda, itu tidak mengapa”[14].
                Menurut abu hanifah dan Muhammad, muzara’ah itu boleh, kalau kerja dan bibit kepunyaan bersama.Dengan demikian berartilah si pekerja menyewa tanah dengan alat – alatnya dan berarti pula pemilik mengupah pekerja dengan memberikan alat – alat dan bibit itu.Sedangkan menurut ulama’ Malikiyah, tidak boleh menyewa atau mengupah itu dengan hasil yang diperoleh dari tanah.Dan boleh kalau dengan upah tertentu[15].
                Mengenai muzara’ah dan mukhabarah. Jika seseorang menyerahkan sebidang tanah kepada orang lain supaya ditanami dan mensyaratkan (menetapkan) bagi penanam tadi bagian tertentu dari penghasilan, maka tidak boleh. Jika pemilik tanah menyewakannya dengan emas atau perak, atau menetapkan bagi penanam tersebut makanan tertentu (bukan diambilkan dari hasil tanaman tersebut) dalam tanggunganya, maka hukumnya boleh[16].


C.      IHYAUL MAWAT
1.       PENGERTIAN

Ihyaa-ul  mawat adalah dua lafadz yang menunjukkan satu istilah dalam fiqih dan mempunyai maksud tersendiri . Ihya berarti menghidupkan dan mawat berasal dari maut yang berarti mati atau wafat.Menurut al-Rofi’i, al-mawat adalah tanah yang tidak ada pemiliknya  dan tidak ada yang memanfaatkannya seorang pun.[17] Sedangkan menurut Rasyid, al mawat adalah membuka tanah baru. Maksudnya adalah tanah yang belum pernah dikerjakan oleh siapapun , berarti tanah itu belum dipunyai orang atau tidak diketahui siapa pemiliknya.[18]
Membuka tanah mati itu boleh dengan dua syarat, yaitu :
1.       Pembukaannya adalah muslim
2.       Tanah yang dibuka adalah tanah bebas yang belum pernah dimiliki oleh orang islam lainnya.
Irigasi terhadap tanah tadi wajib dilakukan dengan tiga syarat, yaitu :
1.       Air itu lebih dari yang diperlukan sendiri
2.       Orang lain memerlukan air itu untuk dirinya atau binatang ternaknya.
3.       Air itu dari air yang tersedia didalam perigi atau sumber.[19]

2.       DASAR HUKUM

Rujukan (sumber hukum ) yang dipakai oleh para ulama mengenai ihyaaul mawat adalah Al – Hadits, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah r.a bahwa nabi SAW bersabda


“barangsiapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang berhak atas tanah itu”.
Juga hadits yang diriwayatkan oleh imam al Nasai bahwa Nabi SAW bersabda


“barangsiapa yang membuka tanah yang belum dimiliki seseorang, maka dia mendapat ganjaran dan tanaman yang dimakan hewan adalah shodaqah”.
Dengan adanya hadits tersebut sebagian ulama’ berpendapat bahwa hukumnya adalah jaiz (boleh) dan sebagian ulama berpendapat sunnat[20]. Adapun kalau tanah yang dibuka itu tanah kepunyaan orang lain, maka hukumnya haram, kecuali dengan izin pemiliknya.
                Sabda Rasulullah SAW:




“barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan jalan dzalim (aniaya), maka sesungguhnya tanah ketujuh lapisnya nanti pada hari kiamat akan dibebankan ke pundaknya.” (bukhori muslim)[21]

PENUTUP


KESIMPULAN

Ji’alah itu adalah akad yang diperbolehkan.Yaitu seseorang yang menetapkan uang Pengganti [sebagai upah] yang diumukan,bagi orang yang berhasil mengembalikan barangnya yang hilang dengan bayaran yang ditentukan.
Rukun Ji’alah ;
1.       Lafadz kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja juga tidak   ditentukan waktunya.
2.       Orang yang menjanjikan upahnya yaitu yang menjanjikan boleh orang yang kehilangan itu sendiri  atau orang lain.
3.       Pekerjaan yaitu mencari barang yang hilang
4.       Upah disyaratkan memberi upah dengan barang yang tertentu.
Muzaro’ah adalah penyerahan tanah oleh pemiliknya kepada si pekerja untuk di tanami dengan syarat si pekerja akan mendapatkan bagian tertentu dari penghasilannya. Sedangkan bibitnya dari pemilik tanah, jika bibit tanaman dari si pekerja , maka dinamakan mukhabarah.
Rukun Muzaro’ah ,Menurut hanafiyah ada empat;
a)       Tanah
b)       perbuatan pekerja
c)       Modal
d)       alat-alat untuk menanam
Ihyaa-ul  mawat adalah dua lafadz yang menunjukkan satu istilah dalam fiqih dan mempunyai maksud tersendiri . Ihya berarti menghidupkan dan mawat berasal dari maut yang berarti mati atau wafat.Menurut al-Rofi’i, al-mawat adalah tanah yang tidak ada pemiliknya  dan tidak ada yang memanfaatkannya seorang pun.[22] Sedangkan menurut Rasyid, al mawat adalah membuka tanah baru. Maksudnya adalah tanah yang belum pernah dikerjakan oleh siapapun , berarti tanah itu belum dipunyai orang atau tidak diketahui siapa pemiliknya.[23]
Membuka tanah mati itu boleh dengan dua syarat, yaitu :
1.       Pembukaannya adalah muslim
2.       Tanah yang dibuka adalah tanah bebas yang belum pernah dimiliki oleh orang islam lainnya.








DAFTAR PUSTAKA


                Helmi karim,fiqih muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993
Sulaiman Rosyid , fiqih islam, Bandung : PT Sinar Baru Algesindo,2006
Hendi suhendi ,Fiqih Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997
Ma’ruf asrori, ringkasan Fiqih islam, Surabaya : Al Miftah, 2000
Syarifudin Anwar Dan Misbah Musthoffa, Kifayatul Akhyar, Surabaya : Bina Iman, 2007
Fuad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum – hukum fiqih islam, Semarang : PT Pustaka Rizki
Putra, 1997



KAFALAH, SYIRKAH, WAKALAH, ‘ARYAH
A. Latar Belakang
Islam adalah suatu sistem dan jalan hidup yang utuh dan terpadu (a comprehensive way of life).Ia memberikan panduan yang dinamis dan lugas terhadap semua aspek kehidupan, termasuk sector bisnis dan transaksi atau mu’amalah. Sangatlah tidak konsisten jika kita menerapkan syariah Islam hanya dalam satu atau sebagian sisi saja dari kehidupan ini.
mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama islam, namun faktanya sedikit sekali umat islam di masyarakat kita yang paham atau mengerti tentang  hukum-hukum atau aturan-aturan  dari mu’amalah dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat pentingnya hal tersebut, disini pemakalah akan menyajikan kajian fiqih muamalah yang meliputi kafalah, syirkah, wakalah, dan ‘ariyah.
B. Rumusan Masalah
1.       apa yang dimaksud dengan kafalah?
2.       apa yang dimaksud dengan syirkah?
3.       apa yang dimaksud dengan wakalah?
4.       apa yang dimaksud dengan ‘ariyah?
C. Tujuan
  1. pembaca mengetahui  kafalah.
  2. pembaca mengetahui syirkah.
  3. pembaca mengetahui wakalah.
  4. pembaca mengetahui ‘ariyah.


PEMBAHASAN
A.   KAFALAH
Definisi Kafalah
Kafalah secara bahasa memiliki arti al dhaman , hamalah, dan za’amah yang ketiganya berarti jaminan beban, dan tanggungan. Secara epistimologi kafalah adalah menanggung atau menjamin sesuatu yang ada pada tanggungan orang lain pada badannya. Definisi kafalah dan doman hampir serupa, yang membedakan adalah doman menjamin harta sedangkan kafalah adalah anggota badan. Menurut madzhab Syafi’i kafalah hukumnya mubah dengan ketentuan yang di tanggung adalah berhubungan dengan haq adamy, seperti hukuman qisos, qodzaf. Adapun hak-hak yang berhubungan dengan Allah, seperti hukuman mencuri, syurbul khomer, dan zina tidak diperbolehkan kafalah didalamnya.
Landasan Syari’ah
Kafalah mempunyai tiga landasan yaitu: Al Qur’an , Sunnah, dan Ijma’ para ulama .
a.        Al Quran
Allah Ta’ala berfirman:
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." (Surah Yusuf : 72 )
Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan za’im dalam ayat ini adalah kafiil penjamin .
Mereka berkata,”Wahai Al Aziz dia mempunyai ayah yang sudah lanjut usia, karena itu ambillah salah satu seorang diantara kami sebagai gantinya, sungguh kami melihat engkau termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (Surah Yusuf : 78 )
b. Al Hadits
Rasulullah ShalallahuAlaihi Wassalam pernah bersabda:
“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar “(Riwayat Abu Daud )
Dalam riwayat lain diceritakan bahwasanya Nabi Saw pernah menjamin sepuluh dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan untuk menagih sampai sebulan , maka hutang sejumlah itu dibayarkan kepada penagih .dan juga dalam riwayat lain bahwasanya Nabi Saw menolak mensholati mayat yang mayatnya itu masih mempunyai hutang , kemudian salah seorang sahabat meminta Nabi SAW mensholati mayat tersebut dengan hutang mayat tadi menjadi tanggungannnya maka kemudian Nabi SAW pun menyolatinya
c. Ijma’ Ulama’
Ulama’ sepakat tantang membolehkannya Al kafalah atau tanggungan dalam sebuah tanggungan karena suatu kebutuhan manusia padanya dan untuk mencegah bahaya yang lebih besar bagi pihak yang berhutang. Dan apabila kafalah ini diberikan untuk menanggung seseorang yang mempunyai hajat yang penting maka ia akan jadi sebuah ketaatan dan baginya disediakn pahala yang besar
Rukun Kafalah
Adapun rukun-rukun kafalah terbagi menjadi empat, yaitu:
1.       kafiil : orang yang meberikan tanggungan.
2.       makfuul anhu: pihak atau orang yang mempunyai kewajiban atau hutan
3.       makful lahu: orang yang mempunyai hak atau piutang
4.        makful bihi : hak tau kewajiban yang seharusnya ditunaikan oleh makful anhu kedapa makful lahu.
Syarat Kafalah
  1. Dhamin , kafiil , atau zaim yaitu orang yang menjamin di mana ia disyaratkan: sudah baligh , berakal, tidak dicegah auntuk membelanjakan hartanya. Dengan kata lain ia merdeka untuk digunakan kepentingan apapun tanpa ada pihak yang membatasi kepentingan atau keleluasaan menggunakan harta tadi .
  2. Madhmun Lahu memiliki syarat: bahwa piutangnya diketahui oleh orang yang menjamin .
  3. Sedangkan madhmun bih adalah hak ,barang, atau utang itu sendiri yang dijadikan objek dan terutama pihak yang memberikan jaminan atau disebut juga dengan makful lahu harus mengetahui bahwa madhmun anhu memiliki hak yang belum ditunaikan kepada madhmun lahu .
  4. Dan Shigat atau lafazh yang diucapkan pada saat ijab Kabul terjadinya proses penjaminan adalah berupa ucapan yang diucapkan dengan jelas dan menyiratkan akan kesanggupannya dan tak dikaitkan dengan apapun serta tak dibatasi oleh waktu
B. SYIRKAH
Definisi
Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adapun menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan.
Landasan Syari’ah
a.  Al Quran
     Ayat-ayat Al Quran yang memerintahkan agar ummat islam saling tolong menolong dalam berbuat kebaikan, seperti dalam QS. Al maaidah:2 dapat dijadikan dasar hukum syirkah karena syirkah merupakan salah satu bentuk pelaksanaan perintah tolong menolong berbuat kebaikan dalam hal penghidupan.
 “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Rabbnya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. 5:2)
b. Hadits
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupataqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
SyaratdanRukunSyirkah
a). SyaratSyirkah
1. orang yang bersyirkahsudahbaligh, berakalsehatdanmerdeka.
2. pokokmaupun modalnya jelas.
3. orang yang bersyirkahharusmencampurkeduaharta (sahamnya) sehinggatidakdapatdibedakansatudengan yang lainnya.
4. anggarandasardananggaranrumahtanggajelas agar terhindardaripenyimpanganpenyimpangan.
5. untungdanrugidiaturdenganperbandingan modal masingmasing.
b). RukunSyirkah
1. anggota yang bersyirkah.
2. pokokpokokperjanjian
3. sighat (akad).
Macam-macam syirkah
a). Syirkah Inan atau syirkah harta artinya akad dari dua orang atau lebih untuk berserikat harta yang ditentukan oleh keduanya dengan maksud mendapat keuntungan (tambahan), dan keuntungan itu untuk mereka yang berserikat itu. Akad ini terjadi dua orang atau lebih dalam permodalan bagi suatau bisnis atas dasar membagi untung dan rugi sesuai dengan jumlah modalnya masing-masing.
b). Syirkah Abdan atau syirkah kerja adalah perserikatan antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatau usaha/pekerjaan yang hasilnya dibagi antara mereka menurut perjanjian. Serikat ini terjadi apabila dua orang tenaga ahli atau lebih bermufakat atas suatu pekerjaan supaya keduanya sama-sama mengerjakan pekerjaan itu. Penghasilan (upah-nya) untuk mereka bersama menurut perjanjian antara mereka.
c). Syirkah Mufawadhah adalah bergabungnya dua orang atau lebih untuk melakukan kerja sama dalam suatu urusan, dengan syarat-syarat:
 Samanya modal masing-masing
 Mempunyai wewenang bertindak yang sama
 Mempunyai agama yang sama
 Bahwa masing-masing menjadi si penjamin lainnya atas apa yang dibeli dan yang dijual.
d). Sirkah Wujuh adalah bahwa dua orang atau lebih membeli sesuatu tanpa permodalan yang ada hanyalah berpegang kepada nama baik mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka dengan catatan bahwa keuntungan untuk mereka. Syirkah ini adalah syirkah tanggung jawab tanpa kerja atau modal.
e). Syirkah Mudhârabahadalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl).
HikmahdariSyirkahantara lain:
- Terciptanyakekuatandankemajuankhususnyadibidangekonomi.
- Pemikiranuntukkemajuanperusahaan bisa lebihmantap, karenahasilpemikirandaribanyakorang.
- Semakinterjalinnyarasapersaudaraandanrasasoldaritasuntukkemajuanbersama.
- Jikausahaberkembangdenganbaik, jangkauanoperasirasionalnyasemakinmeluas, makadengansendirinyamembutuhkantenagakerja yang banyak, iniberartisyirkahakanmenampungbanyaktenagakerjasehinggadapatmensejahterakansebagianmasyarakat.
C. WAKALAH
Islam mensyariatkan Al-Wakalah karena manusia membutuhkannya, dan tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusanya pada suatu kesempatan, karena itu ia perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
Definisi wakalah
                Secara etimologi wakalah bersinonim dengan tafwiid yang berarti menyerahkan sedangkan secara epistimologi wakalah mempunyai arti penyerahan seseorang apa yang harus dia lakukan  dari apa yang boloeh diwakilkan pada orang lain untuk dikerjakannya di masa hidupnya. Dalam perkembangan fiqih Islam status wakalah sempat diperdebatkan : apakah wakalah masuk dalam niabah yakni sebatas mewakili atau kategori wilayah atau wali? hingga kini dua pendapat tersebut terus berkembang.
Pendapat pertama menyatakan bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili. Menurut pendapat ini, si wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwkkil. Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah (menggantikan) dibolehkan untuk yang mengarah kepada yang lebih baik, sebagaimana dalam jual beli, melakukan pembayaran secara tunai lebih baik, walaupu diperkenankan secara kredit.
Landasan Syari’ah
Wakalah berlandaskan pada tiga asal hukum syar’i, yaitu:
a.       Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya al wakalah adalah firman Allah swt berkenaan dengan kisah ashabul kahfi:
“Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (Qs. Al-Kahfi 19)
Ayat ini melukiskan perginya salah seseorang ashabul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilihdanmembelimakanan. Ayat lain yang menjadi rujukan alwakalah adalah kisah tentang nabi Yusuf a.s saat ia berkata dengan raja,
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (Qs. Yusuf 55 )
Dalam konteks ayat ini nabi Yusuf siap menjadi wakil dan mengemban amanah yang menjaga ”federal reserve” negeri mesir.
b.       Al-Hadist
Banyak hadist yang dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah, diantaranya:
Bahwasanya Rasulullah saw, mewakilkan kepada Abu Rafi dan seorang ansar untuk mewakilinya mengawini Maemunah binti Al Harits (Malik , kitab al Muwatha, bab haji)
Dalam kehidupan sehari hari, rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagi urusan. Diantaranya adalah : membayar utang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lainnya.
c.        Ijma’
Para ulama’ bersepakat atas dibolehkannya wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut jenis taa’wun atau tolong menollong atas kebaikan dan tawa. Seperti firman Allah swt
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran… (Qs. Al-Maidah :2)
Dan Rasulullah bersabda :
“Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya “(HR Muslim)
Rukun, Syarat dan yang membatalkan Wakalah
1.       Rukun
a. Muwakkil (yang mewakilkan)
b. Waakil (yang mewakili)
c.(Taukil) Hal hal yang diwakilkan
d. Ijab dan kabul
2. Syarat
a. Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang di wakilkan
b. Orang mukallaf atau mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya sepeti mewakilkan untuk menerima
 c. Cakap hukum.
d. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
e. Wakil adalah orang yang diberi amanat.
f. Dengan jelas orang yang mewakili
g. Tidak bertentangan dengan syariah islam
h. Dapat diwakilkan menurut syariah islam
Wakalah tidak akan sah kecuali jika semua syarat-syaratnya sempurna, Syarat-syaratnya itu diantaranya:
Syarat-syarat yang Mewakilkan
Yang dimaksud syarat yang mewakilkan adalah pemilik yang dapat bertindak dari sesuatu yang ia wakilkan. Jika ia bukan sebagai pemilik yang dapat bertindak, perwakilannya tidak sah. Seperti orang gila dan anak kecil yang belum dapat membedakan. Salah satu dari keduanya tidak dapat mewakilkan yang lainnya, karena keduanya telah kehilangan pemilikan, ia tidak memiliki hak bertindak.
Syarat-syarat yang mewakili
Syarat ini disyaratkan pada orang yang mewakili; orang berakal, kalau dia orang gila atau idiot, atau anak kecil yang tidak dapat membedakan, maka tidak sah.
Syarat-syarat untuk hal yang diwakilkan
Disyaratkan pada hal yang diwakilkan (muwakkal fih) adalah bahwa ia diketahui oleh orang yang mewakili, atau tidak diketahui ia itu buruk perlakuannya. Kecuali jika diserahkan penuh oleh orang yang engkau kehendaki”. Dan disyaratkan pula bahwa hal itu dapat diwakilkan.Hal ini berlaku untuk semua akad, yang boleh bagi manusia untuk ia akadkan sendiri, seperti jual beli, sewa menyewa, berhutang, damai, hibah dan lain sebagainya.
3.Yang membatalkan wakalah
Akad wakalah berakhir sebagai berikut:
a.       Matinya salah seorang dari yang berakad, atau menjadi gila,. Karena salah satu syaratwakalah adalah hidup dan berakal. Apabila terjadi kematian, atau gila, berarti syarat sahnya menjadi tidak ada.
b.       Di hentikannya pekerjaan yang dimaksud. Karena jika telah terhenti, dalam keadaan ini wakalah tidak mempunyai makna lagi.
c.        Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil sekalipun ia belum tahu.
d.       Wakil memutuskan sendiri. Tidak diperlukan orang yang mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak diperlukan kehadirannya.
e.        Keluarnya orang yang mewakilkan dari status pemilikan.
Aplikasinya Dalam Perbankan
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan letter of credit dan transfer uang.Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khususnya pada pembukaan letter of credit, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C dapat dilakukan dengan pembiayaan murabbahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyarakah.Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan harus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank.Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama.Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.
D. ‘ARIYAH
Definisi
Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, agar dapat dikembalikan lagi zat barang tersebut. Setiap yang mungkin dikembalikan manfaatnya dengan tidak merusak zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan.
Landasan Syari’ah
a. Al Quran
Firman Allah SWT:
“Bertolong menolonglah kamu atas kebajikan dan taqwa kepada Allah, dan janganlah kamu tolong menolong dalam perbuatan dosa dan bermusuhan” (Al-Maidah: 2)
Meminjamkan sesuatu berarti menolong yang meminjam. Firman Allah SWT:

“Mereka enggan meminjamkan barang-barang yang berguna (kebutuhan rumah tangga, seperti jarum, timba dll)”. (Al-Ma’un: 2)
Dalam surat tersebut telah diterangkan berberapa perkara yang tidak baik, di antaranya hubungan bertetangga yang hendak pinjam meminjam seperti yang tersebut di atas.
b. Hadits
Sabda Rasulullah SAW:
“Pinjaman wajib dikembalikan dan orang yang meminjam sesuatu harus membayar.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmizi, dan dikatakan Hadits Hasan)
Hukum Pinjaman
Asal hukum meminjamkan adalah sunat, seperti tolong menolong dengan orang lain,adapun hukum kondisionalnya: kadang-kadang menjadi wajib, seperti meminjamkan kain kepada orang yang terpaksa dan meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau yang dipinjam itu akan berguna untuk yang haram.
Kaidah: “Jalan menuju sesuatu hukumnya sama dengan hukum yang dituju.” Misalnya, seseorang yang menunjukan jalan kepada pencuri, maka keadaannya sama dengan melakukan pencurian itu.
Rukun Pinjaman
1. Yang meminjamkan syaratnya
a.Ahli (berhak) berbuat baik sekehendaknya: anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkannya.
b.Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan, walau dengan jalan wakaf atau menyewa sekalipun, karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karenanya yang meminjamkan tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjam bukan miliknya. Hanya dia dizinkan mengambilnya, tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain, tidak berlarangan, seperti dia meminjam rumah selama satu bulan ditinggalinya hanya 15 hari, sisanya (15 hari lagi) boleh diberikannya kepada orang lain.
2. Yang Meminjam
Hendaklah dia orang yang ahli (berhak) menerima kebajikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebajikan.
3. Barang yang dipinjam syaratnya
a.Barang yang tentu ada manfaatnya
b.Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak), oleh karenanya makanan dengan sifat untuk dimakan, tidak sah dipinjamkan
c.Lafadz: kata sebagian ulama’ sah dengan tidak berlafadz
d.Mengambil Manfaat Barang Yang Dipinjam
Yang meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjamnya hanya sekedar menurut izin dari yang punya, atau kurang dari yang diizinkan. Umpamanya dia meminjam tanah untuk menanam padi, dia dibolehkan menanam padi dan yang sama umurnya dengan padi, atau yang kurang seperti Kacang. Tidak boleh dipergunakan untuk tanaman yang lebih lama dari padi kecuali ditentukan masanya, maka dia boleh bertanam menurut kehendaknya.
e.Hilangnya Barang Yang Dipinjam
Kalau barang yang dipinjam hilang atau rusak sebab pemakaian yang dizinkan, yang meminjam tidak mengganti karena pinjam meminjam itu berarti percaya-mempercayai, tetapi kalau sebab lain wajib menggantinya.
Menurut pendapat yang lebih kuat, kerusakan yang hanya sedikit karena dipakai yang dizinkan tidaklah patut diganti, karena terjadinya disebabkan oleh pemakaian yang dizinkan (kaidah: Ridho pada sesuatu, berarti ridho pula pada akibatnya).
f.Mengembalikan Yang Dipinjam
Kalau mengembalikan barang yang dipinjam tadi berhajat pada ongkos maka ongkos itu hendaknya dipikul oleh yang meminjam.
Sabda Rasulullah SAW:
“Dari Sumura: telah bersabda Nabi besar SAW; tanggung jawab barang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu” (Riwayat Lima orang ahli Hadits selain Nasa’i)
Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam dan yang meminjamkan tidak berhalangan buat mengembalikan atau minta kembali pinjaman karena ‘Ariyah adalah akad yang tidak tetap. Kecuali bila meminjam untuk pekuburan, maka tidak boleh dikembalikan sebelum hilang bekas-bekas mayat, berarti sebelum mayat hancur menjadi tanah, dia tidak boleh meminjam kembali. Atau dipinjamkan tanah untuk menanam padi.
Ringkasnya keduanya boleh memutuskan akad asal tidak merugikan kepada salah satu seseorang dari yang meminjam atau yang meminjamkan, Begitu juga sebab gila maka apabila mati yang meminjam, wajib atas warisnya mengembalikan barang pinjaman dan tidak halal bagi mereka memakainya, kalau mereka pakai juga, mereka wajib membayar sewanya. Kalau berselisih antara yang meminjamkan dengan yang meminjam (kata yang pertama belum dikembalikan, sedangkan yang kedua mengaku sudah mengembalikannya), hendaklah dibenarkan yang meminjamkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum kembali. Sesudah yang meminjam mengetahui bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan akad, dia tidak boleh memakai barang yang dipinjamnya.
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Kafalah adalah menanggung atau menjamin sesuatu yang ada pada tanggungan orang lain pada badannya. Kafalah adalah muamalah yang mengatur secara dil dan memilki maqashid menuju terciptanya kesejahteraan dan kenyamanan sesama manusia.
2. Syirkah adalahperserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. syirkah sangat bermanfaat terutama dalam memperkuat perekonomian bangsa. Adapun macam-macam syirkah ada lima yaitu Syirkah Inan atau syirkah harta, Syirkah Abdan atau syirkah kerja , Syirkah Mufawadhah , Sirkah Wujuh , Syirkah Mudhârabah.
3. Wakalah adalah penyerahan seseorang apa yang harus dia lakukan  dari apa yang boleh diwakilkan pada orang lain untuk dikerjakannya di masa hidupnya. Karena apabila sudah meninggal maka bukan dinamakan wakalah akan tetapi wasiyat.
4. ‘Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, agar dapat dikembalikan lagi zat barang tersebut. ‘Ariyah akan menjadi syah apabila rukundan syaratnya dilakukan secara sempurna.
Daftar Pustaka
Al Quran Terjemah Departemen Agama. 2006
Muhammad bin Ismail. Sohih Bukhori. Beirut: Daar Al Fikr.
Muslim. Sohih Muslim. Beirut: Dar Al Kotob Ilmiyah.
Hasan Sulaiman Dan  Alwy Abbas. 2002. Ibanatul Ahkam.Beirut:                                      Daar Al Fikr.
Ibnu Hajar Al Atsqolany. 2003. Bulugul Marom.Beirut : Daar Al Kutub  Al     Ilmiyah.
Musthofa .Dr. 1983.  Tadzhiib. Daar Al Fikri.
Muhammad Ad Dimasyqy. 2003. Rohmatul Ummah Fi Ikhtilafi Al Aimmah. Beirut: Daar Kotob Al ilmiyah.
Mohamad Rifa’i. 1998. Mutiara Fiqh Jilid I. Semarang : Wicaksana.
Sulaiman, Rasjid. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru.



[1]  Helmi karim,fiqih muamalah,hal 45
[2] Ma’ruf asrori,ringkasan figih islam,hal.83
[3] Sulaiman Rasyid, fiqih islam,hal.305-306
[4]Ibid.hal 306
[5] Helmi Karim, Op.Cit, Hal 45-46
[6] Syarifudin Anwar Dan Misbah Musthoffa,Kifayatul Akhyar,  Him 703
[7] Helmi Karim. Op.Cit Hlm 46
[8]Sulaiman Rosyid. Op.Cit.Hlm 306
[9] Hendi Suhendi ,Fiqih Muamalah,Hal.153
[10]Ma’ruf Asrori Opcit. 83
[11]Syarifudin Anwar Dan Misbah Musthoffa,Op.Cit. Hal 708
[12] Hendi suhendi,opcit ,hal,158
[13] Sulaiman Rasyid, fiqih islam,hal.302 - 303
[14] Hendi suhendi, Op.Cit, hal 156 - 157
[15] Fuad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum – hukum fiqih islam, hal 425
[16] Ma’ruf Asrori, Op.Cit, hal 83-84
[17] Hendi suhendi, Op.Cit, hal 265
[18] Sulaiman Rosyid , fiqih islam. Hal 335
[19]Ma’ruf Asrori. Op.cit hal 84
[20] Hendi suhendi, Op.Cit, hal 267 - 268
[21] Sulaiman Rosyid, Op.Cit, hal 336
[22] Hendi suhendi, Op.Cit, hal 265
[23] Sulaiman Rosyid , fiqih islam. Hal 335

1 komentar: